Sabtu, 05 Agustus 2023

Kalung itu Tidak Ditemukan, Saya Menciptakan Benda itu Tanpa Sengaja

Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2009

Catatan 1       : Agustus 2009

 

Ini adalah jurnal kelima yang saya publikasikan secara utuh untuk dibagikan kepada banyak orang. Saya berusia 9 tahun waktu itu, saya mulai suka bermain sendirian karena dikucilkan oleh kelompok se-permainan. Saya orang yang curang, tidak ada yang mau berteman dengan saya sejak saya terus menerus minta menang dan tidak bersedia kalah. Saya akan menangis dan bertingkah memalukan, kakak saya meminta saya lebih baik pulang daripada bertingkah menyebalkan. Saya mengurung diri saya dalam kesepian mendalam sejak lama, tidak ada yang tahu seberapa menyebalkannya saat mereka juga sama curangnya dan saya diminta terus mengerti.




Mereka lebih baik tidak ada.




Saya berpikir demikian, saya mengingat wajah-wajah mereka yang selalu mengatakan saya menyebalkan dan tidak menyenangkan. Saya benar-benar menarik diri dan tidak lagi berusaha masuk dalam lingkaran itu. Mereka sama memuakkannya seperti saya, jadi tidak ada yang lebih benar dari perbedaan sudut pandang ini.

Saya masih punya teman-teman yang lain, yang selalu datang ketika saya sedang jatuh telentang di bawah hamparan kabut hitam yang menutupi jarak pandang di pekarangan bekas kacang tanah milik saudara nenek saya, tepat di sebelah selatan rumah.



Teman-teman saya yang berwajah pucat dan abu-abu gelap itu tidak menyebalkan, mereka jauh lebih menyenangkan. Mereka membantu saya mencari tempat bersembunyi yang tidak akan diketahui siapapun. Mereka mendengarkan cerita saya tentang seberapa menyebalkannya teman sekelas saya yang suka mencontek atau teman satu lingkungan saya yang begitu memuakkan. Mereka mengajak saya bermain, berlari dan tertawa.


Saya menikmatinya.


Saya bahkan diajak membuat cinderamata yang akan sama-sama kami kenakan kemanapun kami pergi. Kami akan saling menemukan, dimanapun titiknya selama benda ini bersama kami, kami tidak akan saling kehilangan lengan. Saya memilih satu kalung yang tidak tahu asalnya dari mana, mungkin saja itu gantungan gawai milik ayah saya, tetapi saya mengambilnya diam-diam dari tempat sampah.

Saya merendamnya dalam air gayung seperti cara mereka, saya menggantungnya di paku yang mencuat dari dinding bambu WC saya yang terletak di bawah bukit, lokasinya di dekat rumah, di sebelah barat terpisah sepetak jalan pintas dan saluran air warga. Rumah saya berada di suatu tempat yang mungkin sulit dibayangkan, tetapi pada tahun itu tidak ada satu orang pun yang mempunyai WC di dalam rumah, kecuali orang kaya yang tinggal di kecamatan.


Kami harus merendamnya tujuh hari dan menggantungnya satu bulan, tidak boleh dipindah dan tidak boleh dibuang. Saya percaya kami tidak akan saling menghianati, jadi saya benar-benar serius melakukannya sampai langkah terakhir dan kami mengenakannya bersama-sama di suatu sore. Hari-hari berjalan dengan menyenangkan, kalung itu lebih dari sekadar benda, dia adalah salah satu benda paling penting di hidup saya sampai akhirnya dia datang dan akan merebutnya.


Saya membencinya.


Teman-teman saya selalu berlari dan menghindar saat dia datang. Saya selalu mendorongnya menjauh saat hendak merebut kalung saya yang berharga, ini kami buat bersama, tidak ada yang boleh mengambilnya begitu saja. Perempuan itu bau, saya tidak suka. Dia selalu mengintip dari pojok ruangan rumah saya dan berrtingkah seperti pencuri.


Saya tidak akan memberikan apa yang dia mau, dasar bau!


Saya memilih untuk menghancurkannya, di suatu sore bulan-bulan musim kemarau, saya mengendap-endap di dekat saluran air belakang rumah dan melemparkannya ke pekarangan milik orang. Saya melihat perempuan itu melesat pergi entah kemana, dia tak lagi mendatangi saya berhari-hari kemudian. saya juga tidak lagi tertarik mempunyai benda-benda seperti itu, teman-teman saya membuangnya, kami harus seragam atau kami akan kehilangan lengan.

 


Catatan 2       : Januari 2014


Saya menemukan benda itu lagi berada di atas tanah.


Perempuan bau itu mengikuti anak laki-laki dari tetangga sebelah rumah sejak entah kapan, dia menyapa dan mengatakan terima kasih karena mempertemukannya dengan anak yang dia inginkan. Dia memiliki benda yang saya buat dan menggenggamnya lebih erat dari pasir, mengatakan kalau saya akan iri dengan apa yang dimilikinya sama seperti saat saya masih kecil.

Dia mengatakan saya memiliki hati yang sangat buruk, jadi memiliki benda seperti itu pun saya tidak pantas. Seharusnya orang seperti saya menciptakan benda-benda serupa dengan energi yang lebih jahat. Tetapi dia masih bau, saya sangat membencinya. Saya melemparnya dengan batu setiap ia datang untuk mengejek dan teman-teman saya ketakutan jika saya mulai marah dan mengamuk seperti orang gila.




Saya benci perempuan itu.


Dia bau!


 

Keterangan    : Jurnal V, Ekspedisi Merah, Tahun 2009 dan 2014

Publikasi        : 05 Agustus 2023

Kamis, 03 Agustus 2023

Perempuan itu Bersembunyi di Bilik Kamar Mandi Paling Barat

Lokasi dirahasiakan, waktu : Tahun 2012



Catatan 1       : November 2012

Ini adalah jurnal keempat yang saya publikasikan secara utuh untuk dibagikan kepada banyak orang. Waktu itu matahari belum sepenuhnya naik diatas kepala, hari jum’at jadi kami mengenakan seragam pramuka dan diwajibkan mengikuti kegiatan kerja bakti di sekolah. Tidak ada pelajaran apapun hari itu, kami semua bebas dari kurungan. Kami hanya harus membersihkan uang kelas lalu bisa pulang pukul 10.00 WIB nanti. Beberapa kelas yang sudah menyelesaikan tugasnya kebanyakan pergi ke kantin sekolah atau bermain voli di lapangan tengah, hari itu menyenangkan, tidak ada sedikitpun kesepian yang saya alami. 


Saya menyukai suara yang bersahut-sahutan dibandingkan dengan kesunyian yang perlahan-lahan menelan saya dalam kegelapan. Saya menyadari selimut kabut hitam yang menyelimuti langit cerah di sekeliling rumah saya sampai batas dusun. Angin sore yang berhembus hangat dan sinar matahari senja yang semerah darah tak mampu menyingkap kabutnya sampai mata saya pedih jika berusaha merobeknya jadi butiran-butiran udara.


Kelas saya kosong, beberapa diantaranya mengumpul di kelas yang lain atau sekadar duduk di lantai depan kelas. Mereka berkomunikasi, tertawa, dan saling menanggapi satu sama lain. Saya akan duduk di pojok, memperhatikan semuanya, merangkum semuanya dan mempelajari bagaimana mereka bersikap dan berekspresi lalu melakukannya sama persis.


Sama persis seperti yang mereka lakukan satu sama lain, saya menirunya sama persis


Saya akan menikmati waktu-waktu dimana dunia berjalan dengan normal, bersama seiring dengan langkah kaki saya yang terkadang melambat.

Saya akan menikmati waktu sebelum saya kembali ditelan dimensi ruang dan waktu yang membingungkan seperti kabut hitam di langit rumah saya. Saya akan berusaha keras tetap berpijak pada kenyataan, sebelum terombang-ambing dalam ruang hampa tanpa jalan keluar. Saya akan terus bertahan sampai suara riuh di sekeliling saya perlahan menghilang, tergantikan menjadi suara seret langkah kaki yang bergerak mendekat.


Saya terkejut, salah seorang teman saya tertawa sambil memukul lengan saya.


Waktu singkat dan tepat, saya ditarik kembali ke dimensi ruang paling aman.

Suaranya menghilang, dalam sepersekian detik, saya merasa berterima kasih pada teman saya yang kini mengajak saya pergi ke kamar mandi di belakang gedung laboratorium IPA. Dia mengatakan kalau dia takut setelah mendengarkan cerita mengerikan disana yang tentu saja hanya hasil karangan konyol murid-murid sekolah menengah.


Saya tidak mendengar apapun soal ceritanya, mungkinkah mereka mendengarkannya saat aku sedang menghilang?


Apakah saya menghilang cukup lama?


Saya hanya mendengar 3-4 kali langkah itu diseret mendekat, tidak cukup lama sampai saya harus meninggalkan obrolan tersebut.



“Katanya disini ada setannya, tungguin aku di depan kamar mandi ya. Jangan jauh-jauh, aku takut...”



Saya mengangguk, ia menyeret saya ke tengah lorong kamar mandi yang saling berhadapan dengan kamar mandi putra. Jangan diharapkan sekolah saya berada di tengah-tengah kota yang kesemua bangunannya saling berkaitan satu sama lain.

Toilet ini berdiri sendiri, kalau saya pergi keluar lorong saya akan menemui satu bak besar tampungan air hujan dari semen dan di bagian utaranya ada tebing gunung kapur yang tinggi. Beberapa detail latar ceritanya tidak sama, saya menuliskan sesuatu yang sedikit berbeda dari kenyataan yang ada.


Teman saya lama, saat saya kembali ke dalam lorong saya lupa dia berada di bilik sebelah mana. Ada dua bilik yang tertutup rapat, bagian paling barat dan satu bilik di bagian tengah. Ada suara air di bilik paling barat, pasti dia sudah selesai, saya akan berpura-pura menunggunya di depan, supaya dia tidak marah dan merajuk.



“Sudah selesai? Kenapa tidak keluar?”



Saya bertanya sambil mengetuk pintu yang kini terbuka dengan mudah, seperti ia tak pernah benar-benar menguncinya. Saya sudah bersiap menegurnya untuk tak lagi melakukan hal itu, anak laki-laki SMP kami sangat nakal dan menyeramkan, ia bisa menjadi sasaran untuk diganggu.





Tetapi, saya tidak menemukannya. 



Teman saya tidak menggunakan bilik paling barat.

Teman saya menggunakan bilik nomor tiga.

Seseorang yang bersembunyi disana menatap saya sambil tersenyum hingga bibirnya robek dan mengalirkan darah kehitaman yang menetes-netes ke lantai kamar mandi.



Ia mengatakan “Ketemu! Ketemu!! Ketemu!!!” berkali-kali seperti mantra mengerikan yang mendorong saya sampai jatuh terduduk menabrak pintu bilik paling barat kamar mandi laki-laki yang kosong.


Dia wanita yang bersembunyi dalam kegelapan seperti lembayung kain hitam yang penuh debu. Darahnya berwana hitam dan mengental, mengalir di bawah rumbaian bayang-bayang yang menyembunyikan kakinya hingga menggenang di bawah tubuh saya. Seluruh tubuh saya gemetar ketakutan, ia menjatuhkan tubuhnya tepat di kaki saya sepersekian detik kemudian tanpa aba-aba, saya berteriak lebih keras dibandingkan kekehannya yang meneteskan liur juga darah yang bercampur.




“Ketemu! Ketemu! Ketemu!!! Aku mau kakimu!!!!”



“Kekkekkekekkkkkeee ... Kaki! Aku mau kakimu!!!!!”



“Ketemu! Aku mau kakimu!!!”





Saya berusaha menendangnya menjauh meskipun ia mencengkeram saya lebih kuat, gelombang darahnya mengental dan bau karbol kamar mandi semakin menyengat. Saya ingin berlari, tetapi ia kembali merapalkan mantra dan kekehan yang memuakkan. Saya ketakutan, saya ingin kembali berlari ke dimensi aman saya tanpa membawanya.

Saya ingin dia menghilang dan terbakar bersama debu, tenggelam dalam cairannya sendiri dan tidak lagi muncul dalam hidup saya selama-lamanya.



Hilang.

Saya kembali.




Kedua kaki saya penuh goresan kuku panjang dan terasa perih. Bilik kamar mandi paling barat itu kosong saat terbuka, bau karbolnya masih menyengat. Saya menyeret kaki saya karena entah kenapa telapaknya perih dan basah ke bilik nomor tiga bersamaan dengan teman saya yang keluar dari dalamnya.

Dia tersenyum dan merangkul lengan atas saya, “Makasih ya udah nemenin aku, tadi aku lama banget ya? Maafin ya Paaa ... ya?”

Saya mengangguk.


Kami kembali ke kelas, dengan saya yang masih menyeret langkah kaki saya tanpa sekali pun menengokkan kepala ke arah bilik paling barat. Mungkin saja dia kembali bersembunyi disana, menunggu orang lain menemukannya. Dia akan merapalkan mantra yang sama, merebut kaki-kaki siswa yang tak sadar bagaimana mereka bisa menyeret perempuan yang kini bersembunyi dalam bayangan.



Kaki saya sembuh dalam beberapa hari, ternyata ada luka gores di bagian telapak kaki yang cukup dalam, saya menyembunyikannya dari ibu saya. Tak lama saya kembali bertemu dengannya sedang memegang salah satu kaki teman sekelas saya yang baru saja patah tulang.


Dia kembali terkekeh dan menyapa saya sambil merapalkan kata, “Ketemu!”



Kami kembali saling bersembunyi untuk waktu yang lama dan saya tidak pernah lagi ingin bertemu dengannya. Sampai hari ini saya tidak tahu dia kembali bersembunyi dimana, saya tak lagi menemukannya di dimensi manapun.

Jika saya melihat bangunan toilet tua itu dari jalanan, ia tak pernah menunjukkan dirinya keluar dari bilik paling barat atau mungkin dia sudah pergi entah kemana.



Lagipula sepertinya dia memahami kesepakatan kami terakhir kali.


Kami tidak boleh saling menemukan lagi.

 

Keterangan    : Jurnal IV, Eskpedisi Merah, Tahun 2012

Publikasi        : 03 Agustus 2023

Selasa, 01 Agustus 2023

Nona itu Menggunakan Gaun Berwarna Jingga

Lokasi dirahasiakan, waktu : Tahun 2017



Catatan 1 : April 2017


Siang itu membosankan, saya berkali-kali meletakkan kepala diatas meja tanpa berniat memperhatikan pelajaran.


Pukul 10.00 WIB, masih terlalu pagi untuk mengantuk dan memilih memejamkan mata barang sejenak. Saya tidak sendiri, pelajaran ini membosankan, guru itu bolak-balik menulis ayat dan artinya di papan tulis lalu mulai berkhotbah. Saat saya mengangkat kepala, ada beberapa kepala lain yang beristirahat di atas mejanya masing-masing, tidak terkecuali teman sebangku saya yang sudah hilang ditelan alam mimpi sejak kelas ini dimulai.


Beberapa yang lain mengangkat kepala, menatap dan memperhatikan dengan serius papan tulis penuh coretan itu. Pada bagian yang lain di papan tulis masih ada rumus kimia yang belum di hapus, guru itu memilih berkali-kali menggunakan sisi barat papan tulis untuk menulis. Mengabaikan rumus kimia di sebelah timur, ia bertumpu di sudut meja guru dan mendongeng.


Ini kajian yang disampaikannya minggu lalu sewaktu saya mengikuti kajian rutin ekstrakurikuler Remaja Masjid, persis, tidak ada yang beda.

 

Saya tidak lagi menaruh atensi padanya, meminjam catatan menjelang ulangan jauh lebih mudah dibandingkan dengan mendengarkan ceramah yang sama berkali-kali. Saya menatap ke setiap sudut ruang kelas, berhenti pada kaca kecil tempat serbet digantung dekat wastafel di dalam ruang kelas. Saya tidak terkejut, ini terlalu biasa sejak saya mulai menyadari saya bisa melihat mereka sehari-hari. Ia terlihat lebih nyata dibandingkan dengan seluruh manusia di ruangan ini, duduk dengan tenang, seperti bayang-bayang rapuh yang bisa saja langsung menghilang.


Kursinya tidak kosong, disana ada salah satu teman sekelas saya yang tertidur pulas di kursi yang sama dengannya. Gadis pucat dengan rambut pirang dikepang samping itu terlihat berantakan, gaunnya berwarna jingga cerah dengan bercak darah dimana-mana, sudut pelipisnya terluka dan kelopak matanya mengelupas. Saya mengerjap berkali-kali dan ia tidak hilang dari kaca, saya menatap kenyataannya dan ia tak juga menghilang selama beberapa menit kemudian. Saya kehilangan konsentrasi pada menit-menit berikutnya karena tersedot dalam dunia yang hanya menampilkan kami berdua dari sudut pandang manapun, saya bahkan tak lagi mendengarkan suara guru atau keluhan lirih teman-teman sekelas.

 


Hanya ada kami.

 


Dia, gadis itu menatap saya di cermin dan mengulas senyuman.

Tulang pipinya menonjol tinggi, dia cantik sebenarnya, tetapi saya tidak tahu harus beraksi seperti apa saat saya menatapnya secara langsung ia sudah berada di depan wajah saya. Wajahnya yang tirus dan panjang mengulas senyuman paling mengerikan yang pernah saya lihat sampai hari. Ia berteriak dengan nyaring tepat di depan wajah saya, tetapi kedua lubang telinganya yang berdarah, matanya melotot nyaris keluar dan tulang pipinya semakin menonjol.

Dia hendak meraih wajah saya dengan kukunya yang hampir lepas, saya ingin melepaskan diri dari dunia ini. Dunia dimana hanya ada kami di kelas pagi, saling menatap dan saya sepenuhnya berada dalam kuasanya.


Saya memejamkan mata kuat-kuat dan tak lama setelahnya saya terjatuh dari kursi karena terkejut saat teman sekelas saya berteriak lebih nyaring, daripada-nya.


Tidak hanya satu atau dua orang siswa yang terkejut, beberapa siswa di sekitar bangku kami berlari menjauh dan guru kami mendekat untuk menenangkan teman sebangku saya yang masih memekik. Saya tertegun, menengokkan kepala kesan-kemari untuk mencari perempuan itu, perempuan bergaun jingga yang nyaris menyentuh wajah saya dengan tangannya.

 


Tidak ada.


 

Perempuan itu tidak ada dimana-mana.

 


Saya masih tertegun di lantai saat keriuhan itu terjadi di pojok kelas, teman sebangku saya masih kesurupan dan berteriak dengan nyaring, mengundang atensi dari setiap sudut. Ia baru tenang setelah beberapa menit, saya dibantu bangun oleh teman yang lain. Saya melihat teman saya dibawa ke UKS setelahnya, tetapi perempuan itu tidak ada sisanya dimana-mana.

 


Dia menghilang.


sampai hari ini, saya tidak berhasil berkomunikasi dengannya satu kali pun setelah peristiwa hari itu.

 

Keterangan      : Jurnal III, Ekspedisi Merah, 2017

Publikasi          : 01 Agustus 2023

Danau

  Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2014 Catatan 1        : Agustus 2014 Hari ini ada pengumuman lagi dari speaker masjid yang terdenga...