Langit pagi hari di bulan Maret.
Mendung masih bertahan untuk terus menggantung, sejak
kakiku menjejak pelataran stasiun Lempuyangan pukul 06.00 waktu setempat. Angin
yang berhembus sesekali membawa uap air berlebih yang membuat kelembaban kota
makin tinggi. Riuh rendah penumpang yang berdesakan keluar masuk, suara bel
kereta, tangisan perpisahan dan pertemuan semuanya tumpah pagi ini.
sedangkan aku, masih tetap tegak berdiri sementara
gerbong keretaku sudah menjauh pergi.
Mataku terkunci pada deretan kursi tunggu penumpang
yang terlihat kosong, hingga seorang wanita berpakaian formal duduk disana,
seorang bapak tua berkacamata kuno membaca koran dan seorang gadis muda yang
sedang serius menatap layar smartphone. Lalu banyak orang lagi yang akhirnya
duduk di sana untuk menunggu kereta. Aku tak sempat mengamati bagaimana
morfologi orang-orang abstrak itu, fokusku beranjak pergi. Meninggalkan
kenyataan, bertarung dalam pikiran lalu memilih untuk bernostalgia sebentar.
Aku masih ingat.
Tepat di deretan kursi itu, seseorang pernah duduk
disana dengan penampilan paling berantakan yang pernah kulihat seumur hidupku.
Nafasnya naik turun dan matanya berair, kantung matanya menghitam pekat. Ia
menatapku tajam, yang kala itu dikerubuti teman-temanku yang mengantarkan
kepergianku ke Jakarta. Jujur, aku cukup terperangah dengan kehadirannya
setelah semua yang terjadi. Kedua tangannya memeluk sebuah kotak kaca yang tak
perlu membuatku berpikir dua kali untuk tahu itu adalah koleksi serangga yang
kami kumpulkan. Yang telah lama kami lupakan atau hanya aku saja yang pura-pura
melupakannya.
Aku memang acuh padanya saat itu, aku menatapnya sesekali dengan terus tertawa bersama teman-temanku. Ia harus terbiasa, tanpa aku. Atau malah aku, yang harus terbiasa tanpa dia. Mungkin kami yang harus terbiasa, untuk tidak lagi bersama. Tapi ia tak juga beranjak, matanya pasti merah karena terlalu banyak menangis, beberapa orang di sekelilingnya menatapnya dengan tatapan yang membuatku ingin menempelengnya satu-satu. Dia bukan manusia yang harus ditatap serendah itu.
Dia ...
Celotehan dan tawa teman-temanku seolah menguap begitu
saja ketika ia kembali menatapku dan tersenyum dengan air mata yang masih
mengalir. Ia memilih meletakkan kotak itu di kursi tempatnya duduk lalu
berbalik pergi. Musim kemarau yang kala itu mengantarkan kepergianku dari
Yogyakarta terasa lebih panas dari biasanya, apalagi setelah dia meninggalkanku
waktu itu, aku jauh lebih memilih pergi tanpa mengambil kotak kaca yang
dibawanya. Sudah selayaknya kenangan seperti itu dibuang saja. Lagipula, aku
tidak lagi ingin memberinya harapan yang memang tidak pernah ada. Aku punya
banyak mimpi, cita-cita, harapan dan tentunya cinta yang berbeda dengannya,
waktu itu ...
Tapi kini, aku ingin bertemu lagi dengannya.
Aku ingin
menemaninya menunggu transjogja saat kakak laki-lakinya tak datang menjemput.
Aku ingin mengajaknya berburu serangga untuk koleksi terbaru kami dan juga
bahan penelitanku nanti. Aku ingin mengajaknya makan di angkringan sambil
bertukar cerita tentang kegilaannya pada ilmu tanah dan pengelolaan lahan, juga
kegilaanku pada hama, penyakit, gulma dan segala yang berhubungan dengan
proteksi tanaman.
Aku tidak peduli tentang bagaimana kisah kami
sebelumnya. Aku tidak akan lagi peduli pada apa reaksinya padaku nanti. Dia
boleh memukuliku, menamparku bolak-balik, menempelengku hingga salah urat atau
apapun.
Dia boleh melakukan apapun,
Menyadari betapa egoisnya aku kala itu, aku akan
menerima balasanku hari ini. Begitu langkah kakiku sudah menjejak tanah
berpasir, di tepi jalan raya dengan langit yang masih berwarna abu-abu gelap.
Aku sudah siap memperbaiki semuanya, biar dikata se-terlambat apapun, aku tidak
pernah sekali pun membencinya seperti yang aku katakan padanya kala itu. Aku
hanya tidak ingin menyakitinya dengan menggantung harapannya yang setinggi
lemari perpustakaan fakultas yang harus membuatnya melompat-lompat demi
mendapatkan buku karangan Gardner soal Fisiologi Tanaman, ah ya...aku ingat,
betapa bencinya ia pada mata kuliah satu itu,
Aku tersenyum tipis, lalu cepat-cepat menundukkan
separuh badanku supaya bisa masuk ke dalam angkringan yang beratap terpal,
dijaga oleh seorang bapak tua yang merokok sambil menatapku tulus, senyumnya
lebar dengan beberapa giginya yang ompong dan menghitam.
“Ngunjuk menapa mas?” tanyanya.
“Teh anget, pak.” Jawabku, membuatnya lekas bergerak
dan menyajikan segelas besar teh hangat di depanku, lalu kembali merokok.
Menatap pada lalu lalang kendaraan di sekitar
stasiun pagi-pagi begini, sedangkan aku lebih tertarik mengamati
interior dalam angkringannya.
Dulu ketika aku masih bersamanya, dia akan mengoceh
panjang lebar soal assisten praktikumnya yang menyebalkan, tugas-tugas mendadak
dari dosen yang jarang masuk kelas sampai gosip kedekatan teman sekelasnya.
Hampir tak ada yang luput ia ceritakan padaku, kala itu ...
“Datang dari mana mas?” tanya bapak itu lagi,
sebatang rokoknya sudah habis terbakar dan kini ia melinting kertas rokok lagi.
Aku tersenyum, “Jakarta, pak.” jawabku, bapak itu
manggut-manggut saja.
Lama kami terdiam, bapak itu sibuk dengan rokoknya dan
aku sibuk mengamati kepul asap dari ujung batang yang terbakar. Yah, sekali
lagi aku masih ingat, hari ketika malam puncak perayaan ulang tahun fakultas
kala itu, aku menyepi sebentar untuk merokok dan dia datang merecokiku dengan
cerita-ceritanya yang lagi-lagi membuatku terbungkam. Aku suka mendengar
suaranya, mendengar keluh kesahnya sebagai panitia acara ulang tahun fakultas,
mendengar celotehannya yang dibumbui analogi ngawur, membuatku tertawa sampai
terbatuk-batuk.
Dia menatapku dengan lirikan tajam, lalu mengatakan
padaku bahwa, ‘jika aku ingin mati, aku tidak boleh mengajaknya. Jadi, jangan
merokok di depannya kecuali ingin membunuhnya perlahan-lahan’. Ia pergi
setelahnya, dengan berlari seperti anak-anak kala seorang perempuan lain
memanggilnya. Sehari setelah itu, aku paham, dia menderita asma yang cukup
sensitif terhadap debu dan asap. Bahkan mulai saat itu, tiba-tiba saja aku tak
lagi merokok dengan dalih, pengen ngirit, pengen sehat atau pengen lainnya.
Yang membuat beberapa temanku mengatakan aku sudah menjelma menjadi seorang
budak cinta.
“Mas?”
Aku mendongakkan kepala, menatap bapak tua itu lagi
yang sedang mengulum senyum. “Dua ribu lima ratus rupiah, mas. Saya mau pulang
mas, mau tutup juga.” imbuhnya, aku tersentak kaget dan mengulurkan uang lima
ribuan, selepas menenggak teh hangat cepat-cepat lalu menerima kembalian. Aku
melangkah keluar dari tenda angkringan, meninggalkan angan-angan masa laluku
disana. Biarkan saja mengendap bersama ampas teh di dasar gelas, lagipula
sekarang aku lebih tertarik membuat kisah baru lagi dengannya untuk masa depan.
Melupakan segala kebodohanku yang sok idealis kala
itu.
Aku datang ingin menemui bumiku lagi.
Bumi yang
membawa sebagian besar jiwaku. Gadis dengan senyum secerah matahari pukul
12:00.
Oh, namanya Eartha.
Eartha Sastra.
C O
L L E
G E

Tidak ada komentar:
Posting Komentar