Lokasi dirahasiakan, waktu : Tahun 2012
Catatan 1 : November 2012
Ini adalah jurnal keempat
yang saya publikasikan secara utuh untuk dibagikan kepada banyak orang. Waktu
itu matahari belum sepenuhnya naik diatas kepala, hari jum’at jadi kami
mengenakan seragam pramuka dan diwajibkan mengikuti kegiatan kerja bakti di sekolah.
Tidak ada pelajaran apapun hari itu, kami semua bebas dari kurungan. Kami hanya
harus membersihkan uang kelas lalu bisa pulang pukul 10.00 WIB nanti. Beberapa
kelas yang sudah menyelesaikan tugasnya kebanyakan pergi ke kantin sekolah atau
bermain voli di lapangan tengah, hari itu menyenangkan, tidak ada sedikitpun
kesepian yang saya alami.
Saya menyukai suara yang bersahut-sahutan dibandingkan dengan kesunyian yang perlahan-lahan menelan saya dalam kegelapan. Saya menyadari selimut kabut hitam yang menyelimuti langit cerah di sekeliling rumah saya sampai batas dusun. Angin sore yang berhembus hangat dan sinar matahari senja yang semerah darah tak mampu menyingkap kabutnya sampai mata saya pedih jika berusaha merobeknya jadi butiran-butiran udara.
Kelas saya kosong, beberapa diantaranya mengumpul di kelas yang lain atau sekadar duduk di lantai depan kelas. Mereka berkomunikasi, tertawa, dan saling menanggapi satu sama lain. Saya akan duduk di pojok, memperhatikan semuanya, merangkum semuanya dan mempelajari bagaimana mereka bersikap dan berekspresi lalu melakukannya sama persis.
Sama persis seperti yang mereka lakukan satu sama lain, saya menirunya
sama persis
Saya akan menikmati waktu-waktu dimana dunia berjalan dengan normal, bersama seiring dengan langkah kaki saya yang terkadang melambat.
Saya akan menikmati waktu sebelum saya
kembali ditelan dimensi ruang dan waktu yang membingungkan seperti kabut hitam
di langit rumah saya. Saya akan berusaha keras tetap berpijak pada kenyataan,
sebelum terombang-ambing dalam ruang hampa tanpa jalan keluar. Saya akan terus
bertahan sampai suara riuh di sekeliling saya perlahan menghilang, tergantikan menjadi
suara seret langkah kaki yang bergerak mendekat.
Saya terkejut, salah
seorang teman saya tertawa sambil memukul lengan saya.
Waktu singkat dan tepat, saya ditarik kembali ke dimensi ruang paling aman.
Suaranya menghilang, dalam
sepersekian detik, saya merasa berterima kasih pada teman saya yang kini
mengajak saya pergi ke kamar mandi di belakang gedung laboratorium IPA. Dia mengatakan
kalau dia takut setelah mendengarkan cerita mengerikan disana yang tentu saja
hanya hasil karangan konyol murid-murid sekolah menengah.
Saya tidak mendengar apapun
soal ceritanya, mungkinkah mereka mendengarkannya saat aku sedang menghilang?
Apakah saya menghilang cukup lama?
Saya hanya mendengar 3-4 kali langkah itu diseret mendekat, tidak cukup
lama sampai saya harus meninggalkan obrolan tersebut.
“Katanya disini ada
setannya, tungguin aku di depan kamar mandi ya. Jangan jauh-jauh, aku takut...”
Saya mengangguk, ia menyeret saya ke tengah lorong kamar mandi yang saling berhadapan dengan kamar mandi putra. Jangan diharapkan sekolah saya berada di tengah-tengah kota yang kesemua bangunannya saling berkaitan satu sama lain.
Toilet ini berdiri sendiri, kalau saya pergi keluar lorong saya akan menemui satu bak besar tampungan air hujan dari semen dan di bagian utaranya ada tebing gunung kapur yang tinggi. Beberapa detail latar ceritanya tidak sama, saya menuliskan sesuatu yang sedikit berbeda dari kenyataan yang ada.
Teman saya lama, saat saya
kembali ke dalam lorong saya lupa dia berada di bilik sebelah mana. Ada dua
bilik yang tertutup rapat, bagian paling barat dan satu bilik di bagian tengah.
Ada suara air di bilik paling barat, pasti dia sudah selesai, saya akan
berpura-pura menunggunya di depan, supaya dia tidak marah dan merajuk.
“Sudah selesai? Kenapa tidak
keluar?”
Saya bertanya sambil
mengetuk pintu yang kini terbuka dengan mudah, seperti ia tak pernah
benar-benar menguncinya. Saya sudah bersiap menegurnya untuk tak lagi melakukan
hal itu, anak laki-laki SMP kami sangat nakal dan menyeramkan, ia bisa menjadi
sasaran untuk diganggu.
Tetapi, saya tidak menemukannya.
Teman saya tidak menggunakan bilik paling barat.
Teman saya menggunakan bilik nomor tiga.
Seseorang yang bersembunyi disana menatap saya sambil tersenyum hingga bibirnya robek dan mengalirkan darah kehitaman yang menetes-netes ke lantai kamar mandi.
Ia mengatakan
“Ketemu! Ketemu!! Ketemu!!!” berkali-kali seperti mantra mengerikan yang
mendorong saya sampai jatuh terduduk menabrak pintu bilik paling barat kamar
mandi laki-laki yang kosong.
Dia wanita yang
bersembunyi dalam kegelapan seperti lembayung kain hitam yang penuh debu. Darahnya
berwana hitam dan mengental, mengalir di bawah rumbaian bayang-bayang yang
menyembunyikan kakinya hingga menggenang di bawah tubuh saya. Seluruh tubuh
saya gemetar ketakutan, ia menjatuhkan tubuhnya tepat di kaki saya sepersekian
detik kemudian tanpa aba-aba, saya berteriak lebih keras dibandingkan
kekehannya yang meneteskan liur juga darah yang bercampur.
“Ketemu! Ketemu!
Ketemu!!! Aku mau kakimu!!!!”
“Kekkekkekekkkkkeee ... Kaki!
Aku mau kakimu!!!!!”
“Ketemu! Aku mau
kakimu!!!”
Saya berusaha menendangnya menjauh meskipun ia mencengkeram saya lebih kuat, gelombang darahnya mengental dan bau karbol kamar mandi semakin menyengat. Saya ingin berlari, tetapi ia kembali merapalkan mantra dan kekehan yang memuakkan. Saya ketakutan, saya ingin kembali berlari ke dimensi aman saya tanpa membawanya.
Saya ingin dia menghilang dan terbakar
bersama debu, tenggelam dalam cairannya sendiri dan tidak lagi muncul dalam
hidup saya selama-lamanya.
Hilang.
Saya kembali.
Kedua kaki saya penuh
goresan kuku panjang dan terasa perih. Bilik kamar mandi paling barat itu
kosong saat terbuka, bau karbolnya masih menyengat. Saya menyeret kaki saya karena
entah kenapa telapaknya perih dan basah ke bilik nomor tiga bersamaan dengan
teman saya yang keluar dari dalamnya.
Dia tersenyum dan
merangkul lengan atas saya, “Makasih ya udah nemenin aku, tadi aku lama banget
ya? Maafin ya Paaa ... ya?”
Saya mengangguk.
Kami kembali ke kelas,
dengan saya yang masih menyeret langkah kaki saya tanpa sekali pun menengokkan
kepala ke arah bilik paling barat. Mungkin saja dia kembali bersembunyi disana,
menunggu orang lain menemukannya. Dia akan merapalkan mantra yang sama, merebut
kaki-kaki siswa yang tak sadar bagaimana mereka bisa menyeret perempuan yang
kini bersembunyi dalam bayangan.
Kaki saya sembuh dalam beberapa hari, ternyata ada luka gores di bagian telapak kaki yang cukup dalam, saya menyembunyikannya dari ibu saya. Tak lama saya kembali bertemu dengannya sedang memegang salah satu kaki teman sekelas saya yang baru saja patah tulang.
Dia kembali terkekeh dan menyapa saya sambil merapalkan kata, “Ketemu!”
Kami kembali saling bersembunyi untuk waktu yang lama dan saya tidak pernah lagi ingin bertemu dengannya. Sampai hari ini saya tidak tahu dia kembali bersembunyi dimana, saya tak lagi menemukannya di dimensi manapun.
Jika saya melihat bangunan toilet tua
itu dari jalanan, ia tak pernah menunjukkan dirinya keluar dari bilik paling
barat atau mungkin dia sudah pergi entah kemana.
Lagipula sepertinya dia memahami
kesepakatan kami terakhir kali.
Kami tidak boleh saling
menemukan lagi.
Keterangan :
Jurnal IV, Eskpedisi Merah, Tahun 2012

Tidak ada komentar:
Posting Komentar