Kamis, 05 Juli 2018

Musim Gugur Bulan Juli : Radian Hirma Askara

 

 

 


Hari ini tepat tanggal 1 Juli dimana aku berdiri di bawah pohon trembesi yang menyimpan banyak kenangan mengejutkan dalam hidupku, sejak lima tahun yang lalu. Bersamaan dengan angin yang berhembus pelan, saat daun-daun itu jatuh berguguran sore ini. Iya, katanya di negara tropis seperti Indonesia begini tak ada yang namanya empat musim. Tapi katanya, bulan Juli adalah musim gugur terindahnya dan pohon trembesi ini romantis. Padahal menurutku Juli dan trembesi adalah kesialan untuknya.

Saat aku pertama kali melihatnya menunggu di loket pengambilan seragam dengan wajah pucat dengan antrian yang terus menerus diserobot ibu-ibu, lalu berakhir terjengkang karena duduk di bangku panjang dibawah pohon ini yang sudah lapuk. Bahkan ketika dia menggerutu sebal karena ditertawakan, membuatku tersenyum. Dengan tampilannya yang acak-acakan, dia tetap berhasil membuat lawakan.

Berikut dengan pertemuan kami berikutnya ketika dia menatapku terang-terangan saat kami sama-sama melihat lembar pengumuman pembagian kelas dengan wajah penasaran dan bibir melongo. Aku menelan ludah berulang kali supaya tidak menertawakannya, tapi gagal. Aku melangkah pergi meninggalkannya setelah menemukan namaku. Meninggalkannya yang tiba-tiba saja lari ke tempatku tadi berdiri, merunuti lembar tempatku menemukan nama lalu menghentakkan kaki, menggilas daun-daun tidak berdosa sambil menggerutu dan merapalkan sesuatu.


Detik itu juga, tawaku pecah.


Berdasarkan pengamatanku, ia memiliki kelas di lantai dua. Tepat diatas kelasku sekarang. Satu hari setelah aku menertawakannya hari itu, pagi harinya ia kembali melompat-lompat lalu dimarahi bapak petugas kebersihan. Tapi ia terdiam, menatapku dengan mata berbinar dan tak lagi dengan wajah penasarannya yang tetap saja aneh di mataku. Dia itu melihat apa sih padaku? Bahkan tanpa menengokkan kepala aku tahu selanjutnya ia mengikutiku sambil berlari dan entah dorongan iblis darimana aku berbelok secepat kilat kearah toilet laki-laki. Tapi yang terdengar hanya langkahnya yang terus berlari tanpa berhenti, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa malu entah pada apa.

Berdasarkan rasa malu yang kualami pagi itu, aku bertekad menghindarinya dengan berangkat lebih pagi bahkan aku rela menggedor gerbang sekolah di beberapa hari tertentu karena datang terlalu pagi lalu dimarahi satpam. Dikiranya aku murid yang terlampau rajin sampai jatuh cinta pada sekolah padahal nyatanya aku cuma melarikan diri dari gadis itu. Meski aku tak pernah satu kalipun melewatkan kegilaannya yang melompat-lompat di bawah trembesi tiap pagi dengan mengamatinya di depan kelas sambil pura-pura memainkan ponsel dengan menggeser aplikasinya ke kanan kiri.

Dia sering tertawa sendiri begitu melihatku setelahnya dan obsesiku menjadi kian berlebihan karena di beberapa pagi tertentu aku akan menunggunya di bawah anak tangga kelasnya lalu ia akan tersenyum menghadap atap hingga berakhir tersandung anak tangga begitu sampai diatas.

Aku ingin menolongnya tapi namanya saja aku tidak tahu siapa, aku memang bodoh tapi mau bagaimana lagi? Anggap saja aku adalah penonton spesial yang bisa selalu melihat tingkah kocaknya yang aneh dan cenderung masokis untuknya sendiri.

Lalu di suatu waktu, berhari-hari aku bahkan tak melihatnya ada. Tidak melompat-lompat di bawah trembesi. Tidak menengok motorku di parkiran. Dan tidak melewatiku di anak tangga -padahal itu satu-satunya akses menuju kelasnya-.

 

Aku tidak frustasi, tapi... dia masih bersekolah disini kan?

 

Dan jawabannya ketemu ketika di suatu pagi saat aku baru saja parkir, ia sama terkejutnya denganku. Wajahnya pucat dengan bibirnya yang kering, bahkan tubuhnya yang pendek itu terlihat makin kecil karena dia kurus. Iya, dia kecil sekali. Bahkan tingginya sebatas bahuku, eng..tidak... mungkin sebatas dadaku?

Bulan-bulan berikutnya datang tanpa permisi, tanpa meninggalkan cerita sama sekali. Dia masih melompat-lompat di bawah trembesi dan aku yang setia menunggunya datang dengan duduk di bawah anak tangga. Sampai aku menyadari betapa sialnya hidupnya yang aneh itu, aku tidak tuli ketika dia menggerutu dan bilang 'kampret' berkali-kali waktu tangannya terjepit pintu geser.

 

Percayalah, aku ingin mengatakan apa dia baik-baik saja!

 

Tapi suaraku bahkan tenggelam dalam suara teman-temannya yang menertawakan kebodohannya.

Atau saat kami didiskualifikasi dari lomba estafet, karena aku terjatuh dari lintasan dan melemparkan tongkatnya hingga memukul wajahnya. Aku terkilir dan dia mimisan. Lepas dari siang itu aku sering melihatnya memaki-maki tembok dan pagar karena menubruknya.

Aku tahu dia yang salah, tapi entah kenapa dia marah-marah pada benda mati?

Dan yang paling aneh adalah ketika ia merubuhkan pembatas sholat laki-laki dan perempuan, beralasan karena didorong temannya. Aku bahkan cuma mendengar ceritanya dari temanku kalau ada gadis kelas tiga yang konyol menabrak pembatas, aku langsung berpikir kalau itu pasti dia.

Aku tidak tahu apa yang berubah pada sikapku, wajahku, atau mungkin model kacamataku. Bahkan tanpa ada angin, hujan, badai dan petir dengan gadis yang masih selalu melompat-lompat seperti kodok itu, teman-temanku berkesimpulan sendirian.

 

Bahwa aku menyukainya.

 

Menyukai gadis penabrak pembatas itu. Dan tanpa kujelaskan mereka tahu aktifitasku tiap pagi lalu menjadikan bahan olokan dengan menjodoh-jodohkanku dengannya. Dengan kata-kata menyebalkan yang membuatku salah tingkah sendiri, bahkan ketika gadis itu acuh saja.

Tidak tahukah dia kalau kalimat "Hirma, lewat itu lho..." atau "Ma, nggak ditungguin di depan kelas lagi?", seperti itu diteriakkan untuknya?

Dengan tragedi ketika aku menciptakan tabrakan beruntun yang sukses membuatnya jatuh ke dalam selokan. Dengan latar belakang tawa yang aku tahu dia pasti malu, bahkan tanpa menatapku ia berlari ke lantai dua. Menuju kelasnya yang kembali berurai tawa hingga terdengar sampai kemari. Aku ingin ikut berlari, menanyakannya apakah baik-baik saja lalu menggeretnya ke UKS untuk mengobati lututnya yang berdarah. Tapi nyatanya aku malah diam berdiri, diantara teman-temanku yang menertawakannya.

Dia masih melompat-lompat di hari kemudian, luka di lututnya dibiarkan terbuka kelihatannya.

Tapi aku acuh.

Aku tak lagi menunggunya di tangga.

Aku diam di dalam kelas, tak lagi ikut bergerombol di luar kelas untuk sekedar mengganggu anak-anak yang lewat di depan kelas kami. Aku menyesali diriku sendiri. Dengan satu fakta mengerikan selama hampir tiga tahun bersekolah di tempat yang sama aku tak pernah tahu namanya.

Tapi untuk bertanya siapa namanya, seberani itukah aku?

Ujian kelas tiga berlalu.

Berhari-hari lewat begitu saja. Aku sendirian dengan teman-femanku yang mengira aku bakal belajar untuk beasiswa ke luar negeri tapi parahnya aku masih bergelut pada hal yang sama. Pada gadis yang kini masih melompat-lompat di bawah trembesi, mencintai musim gugur imajinasinya dan menengok ke arah tempat parkir.


Tapi aku berakhir dengan diam.


Lalu tepat di hari kelulusan, saat aku menantinya datang untuk melompat-lompat di bawah trembesi, di bekas bangku panjang yang dulu membuatnya terjengkang aku ingin menanyakan siapa namanya dan bisakah aku menjadi temannya?

Tapi kalimat itu seolah terbang menjauh saat salah satu temanku sendiri memberiku bunga mawar putih, mengatakan kalau ia menyukaiku sejak tiga tahun yang lalu saat aku menabraknya di suatu pagi dan membuat hasil ulangannya berhamburan. Percayalah, itu karena aku hampir terlambat duduk di tangga untuk menunggu kedatangan gadis aneh itu.

Aku tersenyum, menerima bunga itu dan seperti doktrin sosial kalau itu tanda aku menerimanya. Bersamaan dengan sorak-sorai yang kudengar, gadis itu melesat pergi. Menjinjing ranselnya sambil berlari, ia pelari tercepat yang aku tahu.

Berlari dengan keempat temannya yang ikut mengejar, apa mereka sedang bermain lari-larian?

Tapi kembali kutarik imajinasiku ke bumi, menatap Lani lalu kembali tersenyum.

 

"Maaf,"

 

Selepas hari itu berlalu, dia hilang lagi dari jangkauan mataku.

Gadis yang tak pernah kutahu namanya itu lari bersama dengan angin sore yang berhembus menjatuhkan dedaunan. Di bulan Juli miliknya, meninggalkanku di bawah trembesi yang dicintainya. Berhari-hari berlalu. Bahkan saat pesta perpisahan, tak kulihat ia hadir diantara keempat kawannya yang menatapku bagai musuh. Kupikir ia terlambat, bahkan hingga sekolah sepi dan pesta berakhir ia tak pernah datang.

 

Ia tak pernah memberiku kesempatan untuk mengetahui namanya.

 

 

Sekali saja.

 

Bisakah seandainya ketika ia terjengkang hari itu dan aku menolongnya untuk mengajaknya tukar nama?

Bisakah seandainya saat aku sering menunggunya setiap pagi itu aku menanyakan namanya dan mulai mengajaknya bicara?

 

 

Tapi, tidak bisa.

 

Itu sudah lima tahun yang lalu. Lima tahun yang membuatku bertahan untuk setiap bulan Juli datang berkunjung ke bawah pohon ini, menunggu takdir kembali bermain-main padaku.

 

Membawanya kembali, padaku.

 

Dan bisakah aku selalu menunggunya saat musim gugur di bawah pohon trembesi ini, boleh kah?

 

 

Bisakah aku mengetahui namamu setelah sekian tahun berlalu?



 

C   L   A   S   S   I   C


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau

  Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2014 Catatan 1        : Agustus 2014 Hari ini ada pengumuman lagi dari speaker masjid yang terdenga...