Namanya Darma.
Tinggi badannya
lebih dari 175 cm, berkacamata minus, satu-satunya fanatis ideologi sosialis
yang kukenal, seseorang yang selalu adzan di masjid sekolah ketika menjelang
waktu dzuhur, penganut mode celana cingkrang dan kalau tidak salah menurut akun
media sosialnya ia lahir pada bulan September dibawah naungan zodiak virgo.
Darma adalah anak
laki-laki satu angkatanku dan merupakan orang pertama yang menarik perhatianku
ketika masa pendaftaran. Kami satu kelas selama masa orientasi dalam jangka
waktu 7 hari. Dia terlihat seperti anak
laki-laki yang minim ekspresi dan cenderung murung setiap hari.
Darma adalah siswa
yang selalu datang paling awal di kelas waktu itu.
Ia akan duduk di
bangkunya sambil menggunakan earphone warna hitam dan membaca buku-buku teori
ideologi negara. Atau pernah sekali waktu ia mendengarkan lagu yang tak
kumengerti sama sekali bahasa, nada apalagi maknanya lewat pengeras suara. Dan
ketika menyadari kedatangan orang lain, ia segera mencabut flashdisknya lalu
melangkah pergi keluar kelas.
Sayangnya, aku
hanya satu kelas dengannya selama satu minggu. Itu pun tanpa interaksi apa-apa.
Setelahnya, kami
menempati ruang kelas yang berbeda sesuai dengan peminatan.
Berpisah kelas dan
ruangan dengan Darma sedikit menimbulkan kesan lain, karena di kelasku tak ada yang seperti dia.
Tidak ada yang
bakal datang pagi hanya untuk mendengarkan lagu-lagu patriotis lewat pengeras
suara kelas. Tidak ada yang dengan menggebu-gebu menceritakan perihal teori
konspirasi politik pada teman-teman barunya. Tidak ada Darma yang selalu
menatap penuh rasa ingin tahu pada buku-buku usang memuat judul konspirasi.
Untuk menghindari
kekosongan ruang di hatiku, sebelum pergi ke kelas aku akan melewati koridor
depan ruang kelasnya. Dan jawabannya, Darma sudah duduk di salah satu bangku
sambil memejamkan mata, mendengarkan sesuatu dari earphone warna hitamnya. Dia
terlihat damai dan bahagia di setiap pagi. Meski terkadang di waktu-waktu
tertentu bangkunya akan kosong, entahlah mungkin dia sakit, mungkin dia ikut
lomba atau mungkin dia izin karena kepentingan keluarga.
Yang jelas, kadang dia tidak masuk.
Seingatku, selama
satu tahun kami menempuh pendidikan sekolah menengah tingkat atas, kami tak
pernah sekalipun berbincang, bahkan menyapa pun tidak. Kami hanyalah selayaknya
orang asing di pasar yang berlalu lalang, bukannya penjual dan pembeli. Tidak
ada situasi yang mengharuskan kami berinteraksi. Aku pernah mencoba menyapa
dengan tersenyum padanya, akan tetapi dia hanya melebarkan matanya.
Lalu berakhir dengan ia yang membuang muka.
Padahal jika
diingat-ingat kembali, kami selalu bertemu pada setiap kesempatan maupun
kesempitan. Bahkan di tempat-tempat tak terduga dan di waktu yang tidak
memungkinkan. Entah itu di jalan raya, di warung makan, di warnet, di tempat
wifi, di cafe, di koridor sekolah, di ajang presentasi karya ilmiah, dan
dimana-mana.
Parahnya, di
setiap pertemuan itu Darma tidak pernah mengatakan apa-apa.
Yah, terkecuali secara tidak langsung.
Saat aku
membawakan presentasi karya ilmiah di depan seluruh perwakilan kelas, tiba-tiba
saja Darma mengacungkan tangannya, siap-siap bertanya. Dan pertanyaan
menakjubkan sekaligus menjatuhkan darinya ia serangkan padaku tanpa welas asih.
Aku bahkan tak bisa bicara banyak waktu itu, sampai sesi tanya jawab berakhir.
Hanya Darma yang
menjadi penanya dan aku menjawabnya dengan payah.
Ekspresinya yang
hanya mampu melukis senyuman tipis saat pertanyaannya terjawab. Meskipun kadang
dia akan mengerutkan kening sambil menggelengkan kepala saat jawaban tidak
sesuai, menurutnya. Interaksi di akhir tahun pertama ketika Darma menatapku
seolah tengah memahami setiap makna kata yang kuucapkan. Darma yang tidak bisa
memutuskan kontak mata ketika kami tengah berargumen dalam sorotnya yang
mengintimidasi.
Aku mulai merasa
berinteraksi dengannya meningkatkan adrenalinku hingga ke batas maksimal. Awal
tahun kedua di SMA aku mengikuti ekstrakurikuler yang sama dengannya, tiga
sekaligus. Aku semakin berambisi untuk mengetahui bagaina caranya berpikir,
mengapa dia bisa terlihat begitu pintar pada banyak hal? Padahal buku yang ia
baca hanya memuat teori, konspirasi dan beragam sejarah sosialis.
Mengapa dia bisa
aktif dan memahami dalam kegiatan lapangan kepramukaan?
Mengapa dia bisa
berargumentasi dengan sangat baik dalam klub bahasa inggris?
Mengapa?
Mengapa kami
selalu memiliki posisi duduk yang berhadapan sewaktu rapat melingkar?
Ia yang akan duduk
di seberangku sambil menatap ke seluruh mata yang ada disana tanpa sekalipun
menundukkan muka. Dia memang sangat percaya diri dengan terkadang membenarkan letak kacamata
persegi panjangnya yang membuatnya terlihat menyebalkan.
Ia memang menarik
perhatianku sejak masa pendaftaran. Karakternya, style dan mode-nya, kaca mata
perseginya, hingga caranya berbicara dan mengerutkan kening. Dia begitu
menyebalkan karena membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya. Hari ke hari
dengan kebiasaan melelahkan melihatnya setiap pagi kulakukan hingga akhir
semester di kelas XII.
Selama tiga tahun,
kami tak pernah benar-benar
berinteraksi.
C L
A S S
I C

Tidak ada komentar:
Posting Komentar