Jumat, 07 September 2018

Namanya Darma

 




Namanya Darma.

 

Tinggi badannya lebih dari 175 cm, berkacamata minus, satu-satunya fanatis ideologi sosialis yang kukenal, seseorang yang selalu adzan di masjid sekolah ketika menjelang waktu dzuhur, penganut mode celana cingkrang dan kalau tidak salah menurut akun media sosialnya ia lahir pada bulan September dibawah naungan zodiak virgo.

Darma adalah anak laki-laki satu angkatanku dan merupakan orang pertama yang menarik perhatianku ketika masa pendaftaran. Kami satu kelas selama masa orientasi dalam jangka waktu 7 hari.  Dia terlihat seperti anak laki-laki yang minim ekspresi dan cenderung murung setiap hari.

 

Darma adalah siswa yang selalu datang paling awal di kelas waktu itu.

 

Ia akan duduk di bangkunya sambil menggunakan earphone warna hitam dan membaca buku-buku teori ideologi negara. Atau pernah sekali waktu ia mendengarkan lagu yang tak kumengerti sama sekali bahasa, nada apalagi maknanya lewat pengeras suara. Dan ketika menyadari kedatangan orang lain, ia segera mencabut flashdisknya lalu melangkah pergi keluar kelas.

Sayangnya, aku hanya satu kelas dengannya selama satu minggu. Itu pun tanpa interaksi apa-apa.

Setelahnya, kami menempati ruang kelas yang berbeda sesuai dengan peminatan.

Berpisah kelas dan ruangan dengan Darma sedikit menimbulkan kesan lain, karena di kelasku tak ada yang seperti dia.

Tidak ada yang bakal datang pagi hanya untuk mendengarkan lagu-lagu patriotis lewat pengeras suara kelas. Tidak ada yang dengan menggebu-gebu menceritakan perihal teori konspirasi politik pada teman-teman barunya. Tidak ada Darma yang selalu menatap penuh rasa ingin tahu pada buku-buku usang memuat judul konspirasi.

Untuk menghindari kekosongan ruang di hatiku, sebelum pergi ke kelas aku akan melewati koridor depan ruang kelasnya. Dan jawabannya, Darma sudah duduk di salah satu bangku sambil memejamkan mata, mendengarkan sesuatu dari earphone warna hitamnya. Dia terlihat damai dan bahagia di setiap pagi. Meski terkadang di waktu-waktu tertentu bangkunya akan kosong, entahlah mungkin dia sakit, mungkin dia ikut lomba atau mungkin dia izin karena kepentingan keluarga.

 

Yang jelas, kadang dia tidak masuk.

 

Seingatku, selama satu tahun kami menempuh pendidikan sekolah menengah tingkat atas, kami tak pernah sekalipun berbincang, bahkan menyapa pun tidak. Kami hanyalah selayaknya orang asing di pasar yang berlalu lalang, bukannya penjual dan pembeli. Tidak ada situasi yang mengharuskan kami berinteraksi. Aku pernah mencoba menyapa dengan tersenyum padanya, akan tetapi dia hanya melebarkan matanya.

 

Lalu berakhir dengan ia yang membuang muka.

 

Padahal jika diingat-ingat kembali, kami selalu bertemu pada setiap kesempatan maupun kesempitan. Bahkan di tempat-tempat tak terduga dan di waktu yang tidak memungkinkan. Entah itu di jalan raya, di warung makan, di warnet, di tempat wifi, di cafe, di koridor sekolah, di ajang presentasi karya ilmiah, dan dimana-mana.

Parahnya, di setiap pertemuan itu Darma tidak pernah mengatakan apa-apa.

 

Yah, terkecuali secara tidak langsung.

 

Saat aku membawakan presentasi karya ilmiah di depan seluruh perwakilan kelas, tiba-tiba saja Darma mengacungkan tangannya, siap-siap bertanya. Dan pertanyaan menakjubkan sekaligus menjatuhkan darinya ia serangkan padaku tanpa welas asih. Aku bahkan tak bisa bicara banyak waktu itu, sampai sesi tanya jawab berakhir.

Hanya Darma yang menjadi penanya dan aku menjawabnya dengan payah.

Ekspresinya yang hanya mampu melukis senyuman tipis saat pertanyaannya terjawab. Meskipun kadang dia akan mengerutkan kening sambil menggelengkan kepala saat jawaban tidak sesuai, menurutnya. Interaksi di akhir tahun pertama ketika Darma menatapku seolah tengah memahami setiap makna kata yang kuucapkan. Darma yang tidak bisa memutuskan kontak mata ketika kami tengah berargumen dalam sorotnya yang mengintimidasi.

Aku mulai merasa berinteraksi dengannya meningkatkan adrenalinku hingga ke batas maksimal. Awal tahun kedua di SMA aku mengikuti ekstrakurikuler yang sama dengannya, tiga sekaligus. Aku semakin berambisi untuk mengetahui bagaina caranya berpikir, mengapa dia bisa terlihat begitu pintar pada banyak hal? Padahal buku yang ia baca hanya memuat teori, konspirasi dan beragam sejarah sosialis.

 

Mengapa dia bisa aktif dan memahami dalam kegiatan lapangan kepramukaan?

 

Mengapa dia bisa berargumentasi dengan sangat baik dalam klub bahasa inggris?

 

Mengapa?

 

Mengapa kami selalu memiliki posisi duduk yang berhadapan sewaktu rapat melingkar?

 

Ia yang akan duduk di seberangku sambil menatap ke seluruh mata yang ada disana tanpa sekalipun menundukkan muka. Dia memang sangat percaya diri  dengan terkadang membenarkan letak kacamata persegi panjangnya yang membuatnya terlihat menyebalkan.

Ia memang menarik perhatianku sejak masa pendaftaran. Karakternya, style dan mode-nya, kaca mata perseginya, hingga caranya berbicara dan mengerutkan kening. Dia begitu menyebalkan karena membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya. Hari ke hari dengan kebiasaan melelahkan melihatnya setiap pagi kulakukan hingga akhir semester di kelas XII.

 

Selama tiga tahun, kami tak pernah benar-benar berinteraksi.

 



C   L   A   S   S   I   C


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Danau

  Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2014 Catatan 1        : Agustus 2014 Hari ini ada pengumuman lagi dari speaker masjid yang terdenga...