Di negara tropis yang menjadi tempatku guling-guling sejak zaman bayi
bernama Indonesia dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya karangan WR Supratman
ini tak pernah kukenal satu kalipun musim kecuali musim kemarau dan musim
hujan. Musim kemarau yang terkenal dengan retakan-retakan tanah kering berikut
dengan musim hujan yang terkenal dengan payung-payung bening berjamur di
jalanan saat hujan mengguyur.
Tapi kali ini, aku tak sedang bicara soal musim, iklim atau apapun itu
yang berkaitan dengan meteorologi, klimatologi dan geofisika. Aku sedang ingin
bicara tentang sesuatu hal yang tak kupercaya bisa membuatku insomnia
bertahun-tahun sambil tersenyum-senyum tidak waras, memainkan bantal-bantal
seperti bocah bahkan tak jarang memukul dinding dengan guling hingga dimarahi
anak kost kamar sebelah karena lewat berisik.
Yaaa... aku memang
berisik.
Memang aku dilahirkan untuk berisik di muka bumi ini!
Tapi kupikir aku takkan berisik seperti setan begini kalau saja bulan
Juli lima tahun yang lalu aku tak berdiri di depan papan pengumuman itu.
Ya...lima tahun lalu saat aku masih sibuk berenang-renang di lautan putih hitam
-warna seragamku saat itu- alias masa SMA dengan sifatku yang meledak-ledak
bagai radioaktif, kadang bisa saja aku terlihat tenang atau aku mungkin bakal
teriak-teriak mengalahkan petasan banting berderet.
Kembali ke kisah lima tahunku yang lalu, tepat di bulan Juli ketika aku
menyadari bahwa di Indonesiaku tercinta ada musim gugur paling indah di
hidupku. Ketika seseorang dengan pakaian serba hitam seperti orang berkabung
itu berdiri dengan tenang, menyentih lembar pengumuman siswa yang dipajang
dengan telunjuknya, berhenti di satu titik yang tak begitu jelas dimana, lalu
tersenyum. Dia siswa baru juga rupanya, begitu pikirku. Namun begitu angin
berhembus perlahan dan ia pun juga pergi membawa senyumnya yang tak pernah
hilang, bahkan mungkin saking konyolnya -hal yang ia tertawakan itu, maksudnya-
wajahnya hampir tak berbentuk lagi gara-gara menahan tawa.
Selepas ia pergi dengan wajah abstrak dan langkah sempoyongan itu,
dengan cepat aku berlari kearah lembar pertama, berusaha mencari sekiranya ada
namanya di sana. Tapi aku langsung tahu, betapa bodohnya aku bahwa di lembar
pertama tak cuma dia saja yang laki-laki. Dengan langkah kaki menginjak-injak
daun trembesi besar yang berguguran,
kurapalkan sebuah mantera aneh yang langsung kuketahui di hari berikutnya,
yaitu tentang 'siapa namanya?'.
"Radian Hirma."
Aku manggut-manggut sok tidak peduli dengan namanya yang berhasil
kudapatkan setelah lelah seharian kemarin bermeditasi dalam kamar kost berupaya
mencari ilham tentang namanya lalu berakhir ketiduran. Tapi, sungguh aku
bahagia begitu tahu namanya. Bahkan aku merapalkan namanya dimana-mana,
menuliskannya dimana-mana dengan sok-sok dibuat kaligrafi, ahaa...pokoknya
semua tentang Radian Hirma yang membuatku terobsesi sampai gila. Padahal aku
tidak pernah bicara padanya, tahu saja hanya sebatas nama dan letak kelasnya
yang ada tepat di lantai satu, menatap matanya saja bagai melakukan teror
apalagi bicara, aku pasti akan langsung lari terbirit-birit dan berakhir
memanjat pohon trembesi depan sekolah itu tinggi-tinggi.
Pohon trembesi romantis yang menjadi saksi bisu pertemuan pertamaku
dengannya, meski hanya aku yang merasakan begitu sementara ia malah menahan
tawa mati-matian entah pada hal apa. Musim gugur khayalanku di bulan Juli yang
menjatuhkan daun-daun trembesi menghujaniku berhari-hari ke depan nantinya, bahkan meski aku gagal
mendapatkan namanya hari itu, aku selalu suka dengan angin yang menggugurkan
daun-daun kecil itu sampai melompat-lompat ketika aku pas di bawahnya lalu
diusir bapak-bapak tukang bersih-bersih sekolah karena aku menghalangi
pekerjaannya.
Lalu kembali kulihat Radian datang dengan pakaian serba hitamnya,
-seragam sekolah kami memang bukan celana abu-abu, melainkan celana model
seragam berwarna hitam. Hanya pada hari Jumat dan Sabtu kami menggunakan
seragam pramuka, sedangkan hari Senin-Selasa menggunakan seragam putih-hitam,
dan dua hari berikutnya krem-hitam.- dia bahkan melihatku waktu melompat-lompat
seperti pocong dari arah parkir sepeda motor, aku bahkan berani bertaruh kalau
ia tadi benar-benar melihatku!
Tapi tetap saja begitu aku melihat ke arahnya, dia akan langsung buang
muka dan melangkah meninggalkanku yang tertegun di tempat dengan bapak-bapak
tua yang kembali mengusirku. Tak seberapa lama sampai aku hampir bisa
menyejajari langkahnya, tiba-tiba saja ia belok ke arah toilet laki-laki dengan
langkah sama ngibritnya seperti saat ia melihatku menatapnya dengan
ancang-ancang tersenyum. Dengan bingung dan wajah melongo aku bertanya-tanya
dalam hatiku, 'kenapa Radian bisa terkencing-kencing di pagi hari begini bahkan
ketika dia baru datang di sekolah?'
Kupikir-pikirkan selama bulan-bulan berikut yang sudah merajut masa
sekolah menengahku bersamanya, bersama Radian yang semakin gila tingkahnya. Dia
semakin pagi dalam berangkat sekolah bahkan mungkin lebih pagi dari bapak
tukang bersih-bersih yang masih doyan memarahiku karena melompat-lompat seperti
kodok di bawah pohon trembesi. Seperti penjaga sekolah, tepatnya! Dia bakal
datang pagi-pagi, kadang duduk di depan kelas sambil bermain hape -kutebak ia
cuma geser-geser aplikasi, yang bahkan terpantul dari kacamatanya-, kadang
nggelosor di anak tangga menuju kelasku -aku paling bahagia, untuk yang ini!-,
yang paling menyebalkan adalah saat ia hilang di pagi-pagi tak tertentu kapan.
Aku tak ingat seberapa sering aku bertemu tatap dengannya yang berakhir
dengan konyol karena ia buang muka, yaa...mungkin wajahku memang menakutkan,
makanya dia takut begitu. Rutinitas pagiku bahkan melihat-lihat parkiran sepeda
motor -setelah melompat-lompat di bawah trembesi lalu dimarahi-, untuk
melihatnya sudah datang atau belum. Pernah sekali waktu aku tertangkap basah
olehnya, setelah sekian lama aku tidak masuk sekolah karena demam berdarah dan
ia melihatku sama terkejutnya.
Aku berharap ia membalas tatapanku, tapi begitu dibalas kenapa aku malah
kaku lalu dengan anehnya aku malah lari terbirit-birit bagai melihat hantu.
Bahkan berhari-hari kemudian aku sedikit menghindar darinya, sebelum situasi
kembali normal dan aku kembali melanjutkan aksi menguntitku yang kadang-kadang
berlari sok-sok mengejarnya di jalan saat pulang sekolah, lalu saat salah satu
temanku menawarkan tumpangan dan menanyakan aku mengejar apa, aku hanya akan
tertawa lalu bilang, "Mengejar cinta.." dan ia -temanku- hanya akan
menganggukkan kepala, beradaptasi dengan kewarasanku yang berbeda.
Aku tahu, obsesiku pada Radian memang gila. Tapi bagaimana lagi, aku
kelewat jatuh cinta, mungkin, ehee.. dan penolakan semesta bahkan langsung
menamparku dengan kesialan-kesialan yang selalu mengikutiku kalau-kalau tengah
menguntit Radian.
Iya, aku sial!
Tanganku pernah berdarah gara-gara terjepit pintu kaca geser di kantin
gara-gara melihat Radian tiba-tiba menjadi penunggu kantin tiap pagi, terlempar
tongkat estafet saat classmeeting final antara kelasku dan kelasnya lalu ia
terjatuh nyusruk di depanku -kali ini kami sama-sama sial, sepertinya?-,
menubruk tembok dan pagar gara-gara melihatnya sedang tertawa-tawa bersama
teman-temannya, bahkan aku pernah membuat kegaduhan di masjid dengan tersandung
mukenaku sendiri dan menabrak pembatas sholat yang terbuat dari kayu hingga
menimbulkan bunyi 'gelodak' berkepanjangan, waktu Radian tengah mengumandangkan
adzan.
Tanpa peduli dengan betapa jauh jarak antara aku dan Radian, selama bumi
masih berotasi dan berevolusi kurasa perasaanku akan tetap sama saja. Meski ketika
aku lewat di depannya, ia akan menertawakan kebodohanku atau mungkin gerah
gara-gara dijodoh-jodohkan denganku sampai didorong-dorong kearahku segala.
Lalu berakhir menabrak Vera, yang kemudian membuatku terperosok ke selokan
depan kelasnya. Entahlah, dia itu didorong padaku atau Vera, yang jelas hari
itu aku jadi tertawaan satu sekolahan.
Tapi, tak apa.
Mungkin cuma lewat kebodohan itu saja Radian bakal melihatku. Sekali
saja. Bahkan tiba-tiba saja ujian kelas tiga sudah di depan mata, aksi gilaku
cuma tinggal nostalgia di bawah pohon trembesi. Kami sudah kelas tiga,
seharusnya tidak ada lagi waktu untuk gila-gilaan atas nama cinta. Yep...cinta tak berbalas pastinya! Ujian
tak hanya satu, berhari-hari kulihat Radian semakin mengacuhkanku dan ia tak
lagi bersama teman-temannya yang menyebalkan itu. Ia semakin sering sendirian,
dengan pakaian berkabungnya yang berwarna hitam itu.
Sampai di suatu hari, tepat dimana esok adalah pengumuman kelulusan aku
mendapatkan pengumuman mengejutkan lainnya.
Radian.
Iya, Radian.
Si judes kampret dari goa hantu yang kusukai sejak temu pertama dibawah
pohon trembesi itu, berpacaran. Pengumuman sekali lagi, 'Radian berpacaran!'.
Jadian tepat di bawah pohon trembesi, setelah pengumuman dibacakan oleh kepala
sekolah, dengan bunga mawar putih -kuanggap bunga krisan putih-, Radian sah
menjadi pacar Lani.
Siang itu.
Titik.
Yaa... mau
bagaimana lagi?
Lani pokoknya sudah bilang duluan pada Radian, dan tololnya cowok itu
menerimanya dengan senyuman. Bahkan ekspresi kasmaran lima tahun lalu itu tak
pernah lekang diingatanku yang kadang mencampur-campurnya dengan kenangan
menyenangkan soal Radian di bawah pohon trembesi, saat musim gugur terjadi di
depan matanya.
Saat aku diam dalam bisu, melangkah dengan goyah dan tertawa bagai gila,
bisakah?
Bisakah saat daun-daun itu gugur kembali bertahun-tahun yang akan
datang, aku bicara padamu?
Di musim gugur bulan Juli itu, bisakah seandainya aku melangkah lalu
menanyakan namamu?
Di bawah pohon trembesi saat hari kelulusan itu, bisakah seandainya aku
yang memberikan mawar putih itu padamu?
Bisakah?
Seandainya saja
lima tahun itu diputar lagi, bolehkah?
C L A
S S I C

Tidak ada komentar:
Posting Komentar