Lokasi dirahasiakan, waktu 2021
Catatan 1 : Februari 2021
“Saya melihat wajah tuanya di balik jendela kusam sedang menyembunyikan raut penasaran dengan mata segelap malam yang mengerikan...”
“Saya
berjalan menghampirinya sebelum ia memilih hilang, tidak mau bicara dan terus
menatap kami dari kejauhan. Sesekali mengintip dari balik pintu bahkan
terkadang menyembulkan kepala di sekat langit-langit rumah...”
“Aromanya unik, nyaris sama seperti “dia” yang dulu sempat “dipulangkan”...”
“Energi
kematiannya kuat, namun bukannya terasa jahat, saya lebih merasakan kesepian
dan kesendirian dengan warna abu-abu yang menyelimuti dipan tua di belakang
rumah”
“Juga
pintu itu. Pintu di dekat dapur yang tidak boleh sembarang dibuka.”
***
Catatan 2: Maret 2021
Ini adalah salah satu
jurnal yang saya publikasikan secara utuh. Merangkum tentang rumah itu,
kisah-kisah yang menjadi latar belakangnya, dua sosok dengan eksistensi paling
kuat dan pengalaman saya bertemu dengan dua manusia lain dengan kondisi yang
sama.
Indigo,
yang tidak menyenangkan,
yang selalu punya
pantangan,
dimana seumur hidup
diintai kecemasan.
Karena kalau saja menjadi
indigo itu mudah, saya tidak mungkin mendatangi dukun-dukun untuk menutup mata
batin di pertengahan masa SMA. Kalau saja menjadi indigo itu tidak menyakitkan,
saya akan bertahan dan tidak nyaris gila akibat aroma itu, luka-luka itu dan
“dia” yang kini sudah “dipulangkan”.
Jurnal ekspedisi merah
mulai ditulis sejak saya percaya pada “orang pintar” kepercayaan ibuku kalau
“dia” sudah dipulangkan. Tidak ada lagi sosok wanita tua berbau kapur sirih yang
mengintai di balik punggung saya juga gerombolan bocah-bocah pucat yang mengaku
sebagai tetangga sebelah rumah. Tidak ada lagi bau-bau menyengat ataupun tarikan
kuat yang menyentak kaki saya setiap malamnya.
Tidak ada lagi,
Kehidupan saya mulai
berangsur tenang, meski wanita tua itu terkadang masih mengikuti saya hingga
hari ini.
“Tumbas nopo nduk? [Beli apa nak?]”
Saya tersentak, seorang
nenek tua beruban melongok dari jendela warung kecil itu sambil mengulas
senyum.
Bau
kapur sirih yang menyengat.
Saya tersenyum kaku,
“Beli garam, nek.”,
“Njenengan kalih rencang-rencang sios tilem nten dalem e mbah Jarwo,
nduk? [Kamu dan teman-temanmu jadi tidur di rumah mbah Jarwo, nak?]”
tanyanya buru-buru sambil menyerahkan kembalian.
Saya mengangguk, “Ngati-ati yo, nduk. Yen wonten nopo-nopo,
njenengan tilem nten dalem e kulo mawon. [Hati-hati ya nak. Kalau ada
apa-apa, kamu tidur di rumah saya saja.]” Imbuhnya.
Sejak malam pertama kami
disuruh tinggal di rumah itu oleh panitia, saya tidak menyukainya. Nyaris
seluruh warga desa bertanya dengan ekspresi terkejut yang sama dengan si nenek
pemilik warung kecil dekat pos ronda, bahkan meminta kami tinggal di rumah
mereka saja. Katanya, anak perempuan paling tidak boleh masuk bahkan tinggal
disana.
Katanya, anak perempuan
yang tinggal disana bakal kesurupan dan diganggu.
Apalagi saya memiliki kisah
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan sosok-sosok tua, terutama
nenek-nenek. Aroma kapur sirihnya yang kuat, sorot mata tuanya yang kadang
berubah menghitam, langkahnya yang terpatah-patah, juga genggaman tangannya
yang dingin. Saya tidak bisa mengatasinya seperti ketika saya bertemu sosok
dalam perwujudan yang lain. Tubuh saya kaku, mata saya terpaku, dalam ketakutan
saya membiarkan nenek tua beraroma kapur sirih itu mengusap kepala saya setiap
malam.
Namun, rumah yang kami
tinggali adalah milik si nenek tua bermata hitam.
Tidak ada aroma yang
khas.
Hanya terkadang
kemunculannya ditandai dengan bau tanah yang basah atau hembusan angin yang
lembab. Ia berada di belakang tubuh teman saya dalam waktu yang lama bahkan
ikut pergi dengannya saat ia pergi ke kota untuk membeli barang untuk program
kerja kami. Kulitnya pucat, bibirnya tipis, seluruh matanya hitam, seperti bolong. Saya akan menjauh
beberapa meter saat ia berada begitu dekat, meski saya tahu kalau ia terkadang
berada di belakang tubuh saya juga.
Ia tidak mau bicara.
Eksistensinya nyata, sesekali kami bahkan bertemu pandang saat ia mengintip
lewat langit-langit atau dari balik daun pintu. Namun, ia hanya diam. Saya
tidak tahu bagaimana ekspresinya. Apakah ia marah? Apakah ia menerima
keberadaan kami dan juga anak laki-laki yang berbicara sekehendak hati? Saya berulang
kali hendak bertanya, mengabaikan ragu akibat kekhawatiran penduduk desa yang
terdengar sampai ke telinga saya, karena toh kami aman-aman saja.
Namun, ia tetap diam.
Satu minggu tinggal disana
cukup membuat saya memutuskan untuk tidak lagi mengunjungi tempat atau bahkan
desa ini lagi. Program kerja kami selama social project dalam rangka open
recruitment komunitas KKN 3 T berjalan dengan baik. Meskipun rasanya tubuh saya
mau hancur karena harus menjaga anak-anak perempuan dan sepetak ruangan tempat
kami tidur dengan taburan garam di setiap sudutnya. Berharap, setidaknya
“pemilik rumah” tidak mengetuk pintu atau menyembulkan kepalanya di sekat
dinding dengan atap.
Setidaknya, kami
[perempuan] aman.
Rumah itu kosong dan
selalu dijadikan rumah singgah, namun bukan berarti tidak ada umah kosong lain
di desa tersebut yang juga dimanfaatkan untuk hal serupa. Rumah singgah untuk
pendatang, penelitian gabungan para akademisi hingga rumah untuk anak-anak KKN
(Kuliah Kerja Nyata) tersedia lebih dari satu.
Pertanyannya, mengapa
kami harus tinggal disana?
Rumah singgah yang
membuat saya membuka mata setiap tengah malam, menunggu paling tidak sampai
salah satu dari anggota kami yang laki-laki pulang dari ronda malam agar saya
bisa bersembunyi di kamar.
Namun, mereka tidak
datang cepat seperti yang saya harapkan. Salah satu dari mereka memang menyuruh
saya menghubunginya jika terjadi apa-apa, namun ketakutan saya bukan alasan yang
tepat untuk menghubunginya setiap saat. Aroma kematian dari rumah itu begitu
kuat menguar dari pintu di sebelah dapur dan dipan tua di ruangan belakang.
Tidak terkesan jahat, namun tetap saja mengerikan. Aroma tanah yang basah dan
angin yang lembab, juga noda-noda rembesan air di dinding adalah corak-corak
abstrak yang tidak bisa terlupakan. Kenangan-kenangan tengah malam yang tidak
bisa diceritakan, suara langkah kaki, cekalan tangan yang menarikku masuk ke
kamar mandi di belakang rumah hingga tatapan tajam yang mengarah padaku dari
balik jendela.
Tidak ada yang
menyenangkan.
Jurnal ini selesai ditulis dengan beragam pertanyaan dan kejadian-kejadian yang tidak bisa dituliskan secara terperinci. Sosok hitam itu masih berkeliaran saat kami melewatinya menuju salah satu tempat wisata yang berada di kabupaten yang sama dengan desa tersebut. Rumah itu masih difungsikan sebagai rumah singgah yang selalu disebut dengan akhiran “milik mbah Jarwo [nama disamarkan]” ketika jurnal ini saya publikasikan hari ini.
Keterangan : Jurnal I, Ekspedisi Merah, 2021
Publikasi : 01 Maret 2021

Tidak ada komentar:
Posting Komentar