Senin, 01 Maret 2021

Rumah Singgah dan Aroma Kematian

Lokasi dirahasiakan, waktu 2021



Catatan 1 : Februari 2021


“Saya melihat wajah tuanya di balik jendela kusam sedang menyembunyikan raut penasaran dengan mata segelap malam yang mengerikan...”

“Saya berjalan menghampirinya sebelum ia memilih hilang, tidak mau bicara dan terus menatap kami dari kejauhan. Sesekali mengintip dari balik pintu bahkan terkadang menyembulkan kepala di sekat langit-langit rumah...”

“Aromanya unik, nyaris sama seperti “dia” yang dulu sempat “dipulangkan”...”


“Energi kematiannya kuat, namun bukannya terasa jahat, saya lebih merasakan kesepian dan kesendirian dengan warna abu-abu yang menyelimuti dipan tua di belakang rumah”

“Juga pintu itu. Pintu di dekat dapur yang tidak boleh sembarang dibuka.”


***


Catatan 2: Maret 2021


Ini adalah salah satu jurnal yang saya publikasikan secara utuh. Merangkum tentang rumah itu, kisah-kisah yang menjadi latar belakangnya, dua sosok dengan eksistensi paling kuat dan pengalaman saya bertemu dengan dua manusia lain dengan kondisi yang sama.


Indigo,

yang tidak menyenangkan,

yang selalu punya pantangan,

dimana seumur hidup diintai kecemasan.


Karena kalau saja menjadi indigo itu mudah, saya tidak mungkin mendatangi dukun-dukun untuk menutup mata batin di pertengahan masa SMA. Kalau saja menjadi indigo itu tidak menyakitkan, saya akan bertahan dan tidak nyaris gila akibat aroma itu, luka-luka itu dan “dia” yang kini sudah “dipulangkan”.

Jurnal ekspedisi merah mulai ditulis sejak saya percaya pada “orang pintar” kepercayaan ibuku kalau “dia” sudah dipulangkan. Tidak ada lagi sosok wanita tua berbau kapur sirih yang mengintai di balik punggung saya juga gerombolan bocah-bocah pucat yang mengaku sebagai tetangga sebelah rumah. Tidak ada lagi bau-bau menyengat ataupun tarikan kuat yang menyentak kaki saya setiap malamnya.


Tidak ada lagi,


Kehidupan saya mulai berangsur tenang, meski wanita tua itu terkadang masih mengikuti saya hingga hari ini.


Tumbas nopo nduk? [Beli apa nak?]”

Saya tersentak, seorang nenek tua beruban melongok dari jendela warung kecil itu sambil mengulas senyum.


Bau kapur sirih yang menyengat.


Saya tersenyum kaku, “Beli garam, nek.”,


Njenengan kalih rencang-rencang sios tilem nten dalem e mbah Jarwo, nduk? [Kamu dan teman-temanmu jadi tidur di rumah mbah Jarwo, nak?]” tanyanya buru-buru sambil menyerahkan kembalian.

Saya mengangguk, “Ngati-ati yo, nduk. Yen wonten nopo-nopo, njenengan tilem nten dalem e kulo mawon. [Hati-hati ya nak. Kalau ada apa-apa, kamu tidur di rumah saya saja.]” Imbuhnya.


Sejak malam pertama kami disuruh tinggal di rumah itu oleh panitia, saya tidak menyukainya. Nyaris seluruh warga desa bertanya dengan ekspresi terkejut yang sama dengan si nenek pemilik warung kecil dekat pos ronda, bahkan meminta kami tinggal di rumah mereka saja. Katanya, anak perempuan paling tidak boleh masuk bahkan tinggal disana.


Katanya, anak perempuan yang tinggal disana bakal kesurupan dan diganggu.


Apalagi saya memiliki kisah tidak menyenangkan yang berhubungan dengan sosok-sosok tua, terutama nenek-nenek. Aroma kapur sirihnya yang kuat, sorot mata tuanya yang kadang berubah menghitam, langkahnya yang terpatah-patah, juga genggaman tangannya yang dingin. Saya tidak bisa mengatasinya seperti ketika saya bertemu sosok dalam perwujudan yang lain. Tubuh saya kaku, mata saya terpaku, dalam ketakutan saya membiarkan nenek tua beraroma kapur sirih itu mengusap kepala saya setiap malam.


Namun, rumah yang kami tinggali adalah milik si nenek tua bermata hitam.

Tidak ada aroma yang khas.


Hanya terkadang kemunculannya ditandai dengan bau tanah yang basah atau hembusan angin yang lembab. Ia berada di belakang tubuh teman saya dalam waktu yang lama bahkan ikut pergi dengannya saat ia pergi ke kota untuk membeli barang untuk program kerja kami. Kulitnya pucat, bibirnya tipis, seluruh matanya hitam, seperti bolong. Saya akan menjauh beberapa meter saat ia berada begitu dekat, meski saya tahu kalau ia terkadang berada di belakang tubuh saya juga.

Ia tidak mau bicara. Eksistensinya nyata, sesekali kami bahkan bertemu pandang saat ia mengintip lewat langit-langit atau dari balik daun pintu. Namun, ia hanya diam. Saya tidak tahu bagaimana ekspresinya. Apakah ia marah? Apakah ia menerima keberadaan kami dan juga anak laki-laki yang berbicara sekehendak hati? Saya berulang kali hendak bertanya, mengabaikan ragu akibat kekhawatiran penduduk desa yang terdengar sampai ke telinga saya, karena toh kami aman-aman saja.


Namun, ia tetap diam.


Satu minggu tinggal disana cukup membuat saya memutuskan untuk tidak lagi mengunjungi tempat atau bahkan desa ini lagi. Program kerja kami selama social project dalam rangka open recruitment komunitas KKN 3 T berjalan dengan baik. Meskipun rasanya tubuh saya mau hancur karena harus menjaga anak-anak perempuan dan sepetak ruangan tempat kami tidur dengan taburan garam di setiap sudutnya. Berharap, setidaknya “pemilik rumah” tidak mengetuk pintu atau menyembulkan kepalanya di sekat dinding dengan atap.

Setidaknya, kami [perempuan] aman.

Rumah itu kosong dan selalu dijadikan rumah singgah, namun bukan berarti tidak ada umah kosong lain di desa tersebut yang juga dimanfaatkan untuk hal serupa. Rumah singgah untuk pendatang, penelitian gabungan para akademisi hingga rumah untuk anak-anak KKN (Kuliah Kerja Nyata) tersedia lebih dari satu.


Pertanyannya, mengapa kami harus tinggal disana?


Rumah singgah yang membuat saya membuka mata setiap tengah malam, menunggu paling tidak sampai salah satu dari anggota kami yang laki-laki pulang dari ronda malam agar saya bisa bersembunyi di kamar.

Namun, mereka tidak datang cepat seperti yang saya harapkan. Salah satu dari mereka memang menyuruh saya menghubunginya jika terjadi apa-apa, namun ketakutan saya bukan alasan yang tepat untuk menghubunginya setiap saat. Aroma kematian dari rumah itu begitu kuat menguar dari pintu di sebelah dapur dan dipan tua di ruangan belakang. Tidak terkesan jahat, namun tetap saja mengerikan. Aroma tanah yang basah dan angin yang lembab, juga noda-noda rembesan air di dinding adalah corak-corak abstrak yang tidak bisa terlupakan. Kenangan-kenangan tengah malam yang tidak bisa diceritakan, suara langkah kaki, cekalan tangan yang menarikku masuk ke kamar mandi di belakang rumah hingga tatapan tajam yang mengarah padaku dari balik jendela.


Tidak ada yang menyenangkan.


Jurnal ini selesai ditulis dengan beragam pertanyaan dan kejadian-kejadian yang tidak bisa dituliskan secara terperinci. Sosok hitam itu masih berkeliaran saat kami melewatinya menuju salah satu tempat wisata yang berada di kabupaten yang sama dengan desa tersebut. Rumah itu masih difungsikan sebagai rumah singgah yang selalu disebut dengan akhiran “milik mbah Jarwo [nama disamarkan]” ketika jurnal ini saya publikasikan hari ini.


Keterangan    : Jurnal I, Ekspedisi Merah, 2021

Publikasi        : 01 Maret 2021

Danau

  Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2014 Catatan 1        : Agustus 2014 Hari ini ada pengumuman lagi dari speaker masjid yang terdenga...