Hari ini tepat tanggal 1 Juli dimana aku berdiri di bawah pohon trembesi
yang menyimpan banyak kenangan mengejutkan dalam hidupku, sejak lima tahun yang
lalu. Bersamaan dengan angin yang berhembus pelan, saat daun-daun itu jatuh
berguguran sore ini. Iya, katanya di negara tropis seperti Indonesia begini tak
ada yang namanya empat musim. Tapi katanya, bulan Juli adalah musim gugur
terindahnya dan pohon trembesi ini romantis. Padahal menurutku Juli dan
trembesi adalah kesialan untuknya.
Saat aku pertama kali melihatnya menunggu di loket pengambilan seragam
dengan wajah pucat dengan antrian yang terus menerus diserobot ibu-ibu, lalu
berakhir terjengkang karena duduk di bangku panjang dibawah pohon ini yang
sudah lapuk. Bahkan ketika dia menggerutu sebal karena ditertawakan, membuatku
tersenyum. Dengan tampilannya yang acak-acakan, dia tetap berhasil membuat
lawakan.
Berikut dengan pertemuan kami berikutnya ketika dia menatapku
terang-terangan saat kami sama-sama melihat lembar pengumuman pembagian kelas
dengan wajah penasaran dan bibir melongo. Aku menelan ludah berulang kali
supaya tidak menertawakannya, tapi gagal. Aku melangkah pergi meninggalkannya
setelah menemukan namaku. Meninggalkannya yang tiba-tiba saja lari ke tempatku
tadi berdiri, merunuti lembar tempatku menemukan nama lalu menghentakkan kaki,
menggilas daun-daun tidak berdosa sambil menggerutu dan merapalkan sesuatu.
Detik itu juga, tawaku pecah.
Berdasarkan pengamatanku, ia memiliki kelas di lantai dua. Tepat diatas
kelasku sekarang. Satu hari setelah aku menertawakannya hari itu, pagi harinya
ia kembali melompat-lompat lalu dimarahi bapak petugas kebersihan. Tapi ia
terdiam, menatapku dengan mata berbinar dan tak lagi dengan wajah penasarannya
yang tetap saja aneh di mataku. Dia itu melihat apa sih padaku? Bahkan tanpa
menengokkan kepala aku tahu selanjutnya ia mengikutiku sambil berlari dan entah
dorongan iblis darimana aku berbelok secepat kilat kearah toilet laki-laki.
Tapi yang terdengar hanya langkahnya yang terus berlari tanpa berhenti, untuk
pertama kalinya dalam hidupku aku merasa malu entah pada apa.
Berdasarkan rasa malu yang kualami pagi itu, aku bertekad menghindarinya
dengan berangkat lebih pagi bahkan aku rela menggedor gerbang sekolah di
beberapa hari tertentu karena datang terlalu pagi lalu dimarahi satpam.
Dikiranya aku murid yang terlampau rajin sampai jatuh cinta pada sekolah
padahal nyatanya aku cuma melarikan diri dari gadis itu. Meski aku tak pernah
satu kalipun melewatkan kegilaannya yang melompat-lompat di bawah trembesi tiap
pagi dengan mengamatinya di depan kelas sambil pura-pura memainkan ponsel
dengan menggeser aplikasinya ke kanan kiri.
Dia sering tertawa sendiri begitu melihatku setelahnya dan obsesiku
menjadi kian berlebihan karena di beberapa pagi tertentu aku akan menunggunya
di bawah anak tangga kelasnya lalu ia akan tersenyum menghadap atap hingga
berakhir tersandung anak tangga begitu sampai diatas.
Aku ingin menolongnya tapi namanya saja aku tidak tahu siapa, aku memang
bodoh tapi mau bagaimana lagi? Anggap saja aku adalah penonton spesial yang
bisa selalu melihat tingkah kocaknya yang aneh dan cenderung masokis untuknya
sendiri.
Lalu di suatu waktu, berhari-hari aku bahkan tak melihatnya ada. Tidak
melompat-lompat di bawah trembesi. Tidak menengok motorku di parkiran. Dan tidak
melewatiku di anak tangga -padahal itu satu-satunya akses menuju kelasnya-.
Aku tidak frustasi, tapi...
dia masih bersekolah disini
kan?
Dan jawabannya ketemu ketika di suatu pagi saat aku baru saja parkir, ia
sama terkejutnya denganku. Wajahnya pucat dengan bibirnya yang kering, bahkan
tubuhnya yang pendek itu terlihat makin kecil karena dia kurus. Iya, dia kecil
sekali. Bahkan tingginya sebatas bahuku, eng..tidak...
mungkin sebatas dadaku?
Bulan-bulan berikutnya datang tanpa permisi, tanpa meninggalkan cerita
sama sekali. Dia masih melompat-lompat di bawah trembesi dan aku yang setia
menunggunya datang dengan duduk di bawah anak tangga. Sampai aku menyadari
betapa sialnya hidupnya yang aneh itu, aku tidak tuli ketika dia menggerutu dan
bilang 'kampret' berkali-kali waktu tangannya terjepit pintu geser.
Percayalah, aku ingin mengatakan apa dia baik-baik saja!
Tapi suaraku bahkan tenggelam dalam suara teman-temannya yang
menertawakan kebodohannya.
Atau saat kami didiskualifikasi dari lomba estafet, karena aku terjatuh
dari lintasan dan melemparkan tongkatnya hingga memukul wajahnya. Aku terkilir
dan dia mimisan. Lepas dari siang itu aku sering melihatnya memaki-maki tembok
dan pagar karena menubruknya.
Aku tahu dia yang salah, tapi entah kenapa dia marah-marah pada benda
mati?
Dan yang paling aneh adalah ketika ia merubuhkan pembatas sholat
laki-laki dan perempuan, beralasan karena didorong temannya. Aku bahkan cuma
mendengar ceritanya dari temanku kalau ada gadis kelas tiga yang konyol
menabrak pembatas, aku langsung berpikir kalau itu pasti dia.
Aku tidak tahu apa yang berubah pada sikapku, wajahku, atau mungkin
model kacamataku. Bahkan tanpa ada angin, hujan, badai dan petir dengan gadis
yang masih selalu melompat-lompat seperti kodok itu, teman-temanku
berkesimpulan sendirian.
Bahwa aku menyukainya.
Menyukai gadis penabrak pembatas itu. Dan tanpa kujelaskan mereka tahu
aktifitasku tiap pagi lalu menjadikan bahan olokan dengan menjodoh-jodohkanku
dengannya. Dengan kata-kata menyebalkan yang membuatku salah tingkah sendiri,
bahkan ketika gadis itu acuh saja.
Tidak tahukah dia kalau kalimat "Hirma,
lewat itu lho..." atau "Ma,
nggak ditungguin di depan kelas lagi?", seperti itu diteriakkan
untuknya?
Dengan tragedi ketika aku menciptakan tabrakan beruntun yang sukses
membuatnya jatuh ke dalam selokan. Dengan latar belakang tawa yang aku tahu dia
pasti malu, bahkan tanpa menatapku ia berlari ke lantai dua. Menuju kelasnya
yang kembali berurai tawa hingga terdengar sampai kemari. Aku ingin ikut berlari,
menanyakannya apakah baik-baik saja lalu menggeretnya ke UKS untuk mengobati
lututnya yang berdarah. Tapi nyatanya aku malah diam berdiri, diantara
teman-temanku yang menertawakannya.
Dia masih melompat-lompat di hari kemudian, luka di lututnya dibiarkan
terbuka kelihatannya.
Tapi aku acuh.
Aku tak lagi menunggunya di tangga.
Aku diam di dalam kelas, tak lagi ikut bergerombol di luar kelas untuk
sekedar mengganggu anak-anak yang lewat di depan kelas kami. Aku menyesali
diriku sendiri. Dengan satu fakta mengerikan selama hampir tiga tahun
bersekolah di tempat yang sama aku tak pernah tahu namanya.
Tapi untuk bertanya siapa namanya, seberani itukah aku?
Ujian kelas tiga berlalu.
Berhari-hari lewat begitu saja. Aku sendirian dengan teman-femanku yang
mengira aku bakal belajar untuk beasiswa ke luar negeri tapi parahnya aku masih
bergelut pada hal yang sama. Pada gadis yang kini masih melompat-lompat di
bawah trembesi, mencintai musim gugur imajinasinya dan menengok ke arah tempat
parkir.
Tapi aku berakhir dengan diam.
Lalu tepat di hari kelulusan, saat aku menantinya datang untuk
melompat-lompat di bawah trembesi, di bekas bangku panjang yang dulu membuatnya
terjengkang aku ingin menanyakan siapa namanya dan bisakah aku menjadi
temannya?
Tapi kalimat itu seolah terbang menjauh saat salah satu temanku sendiri
memberiku bunga mawar putih, mengatakan kalau ia menyukaiku sejak tiga tahun
yang lalu saat aku menabraknya di suatu pagi dan membuat hasil ulangannya
berhamburan. Percayalah, itu karena aku hampir terlambat duduk di tangga untuk
menunggu kedatangan gadis aneh itu.
Aku tersenyum, menerima bunga itu dan seperti doktrin sosial kalau itu
tanda aku menerimanya. Bersamaan dengan sorak-sorai yang kudengar, gadis itu
melesat pergi. Menjinjing ranselnya sambil berlari, ia pelari tercepat yang aku
tahu.
Berlari dengan keempat temannya yang ikut mengejar, apa mereka sedang
bermain lari-larian?
Tapi kembali kutarik imajinasiku ke bumi, menatap Lani lalu kembali
tersenyum.
"Maaf,"
Selepas hari itu berlalu, dia hilang lagi dari jangkauan mataku.
Gadis yang tak pernah kutahu namanya itu lari bersama dengan angin sore
yang berhembus menjatuhkan dedaunan. Di bulan Juli miliknya, meninggalkanku di
bawah trembesi yang dicintainya. Berhari-hari berlalu. Bahkan saat pesta
perpisahan, tak kulihat ia hadir diantara keempat kawannya yang menatapku bagai
musuh. Kupikir ia terlambat, bahkan hingga sekolah sepi dan pesta berakhir ia
tak pernah datang.
Ia tak pernah memberiku kesempatan untuk mengetahui namanya.
Sekali saja.
Bisakah seandainya ketika ia terjengkang hari itu dan aku menolongnya
untuk mengajaknya tukar nama?
Bisakah seandainya saat aku sering menunggunya setiap pagi itu aku
menanyakan namanya dan mulai mengajaknya bicara?
Tapi, tidak bisa.
Itu sudah lima tahun yang lalu. Lima tahun yang membuatku bertahan untuk
setiap bulan Juli datang berkunjung ke bawah pohon ini, menunggu takdir kembali
bermain-main padaku.
Membawanya kembali, padaku.
Dan bisakah aku selalu menunggunya saat musim gugur di bawah pohon
trembesi ini, boleh kah?
Bisakah aku
mengetahui namamu setelah sekian tahun berlalu?
C L
A S S
I C
.jpg)
