Sabtu, 13 Januari 2024

Danau

 

Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2014



Catatan 1       : Agustus 2014


Hari ini ada pengumuman lagi dari speaker masjid yang terdengar dari arah barat daya rumah. Kakek saya berjalan keluar dari pintu dapur rumah kami untuk mendengarnya lebih jelas, lalu kembali masuk dengan wajah pias. Seluruh keluarga saya meninggalkan kursi di ruang keluarga kami yang berdebu untuk berganti pakaian dan pergi melayat, saya masih duduk di depan segelas teh panas milik mamak yang mulai dingin.

Saya tidak beranjak sedikit pun saat mereka mengunci semua pintu, berpamitan pergi melayat ke rumah salah satu orang yang kami kenal baik. Kakek saya mengenal suami dari perempuan yang meninggal hari ini, sedangkan saya hanya tahu mereka sebagai orang tua teman sekelas saya yang tinggal kelas sewaktu Sekolah Dasar. Saya ingat wajahnya, perempuan itu terkadang ikut menjadi buruh tani seperti suaminya.


Katanya, kematiannya mendadak.


Katanya, kematiannya tidak wajar.



Ceritanya terus bergulir dari waktu ke waktu.


Saya tidak tahu akan menuliskan apa tentang hal ini, tidak tahu apakah cerita ini berkaitan dengan mimpi buruk yang akan saya alami bertahun-tahun ke depan. Satu per satu dari keluarga itu meninggal secara acak tanpa selang waktu yang pasti, seperti tiba-tiba saja hilang nyawa.

Katanya, ini karena santet pring sedapur.



Catatan 2       : Juli 2016


"Mak, ini danau apa kok kering begini?"


Saya melihat diri saya yang lain sedang duduk di batu besar dan meniup tangannya yang terluka karena tergores daun rumput gajah yang tumbuh lebih tinggi daripada saya.


Disana ada mamak, sedang tersenyum menatap diri saya yang lain sambil terus memotong rumput-rumput tinggi itu menggunakan sabit. Ini memori masa kecil saya, saya melihat sekeliling penuh dengan warna nostalgia kecoklatan yang hangat, saya mengingat hari dimana semuanya dimulai, di tempat ini.

 

"Kering, dulu danaunya sangat luas dari pojok pohon trembesi itu, yang dekat pohon kelapa itu sampai ke batu besar yang tadi mamak lewati bareng adek. Sekarang sudah kering, sudah lama, adek lahir danaunya sudah kering, tidak pernah terisi lagi."


"Sumber airnya yang tadi kita lewati itu ya mak?"


Mamak menggelengkan kepala, "Sumbernya ada di bawah sana, kapan-kapan kalo kita nyari rumput lagi, mamak ajak ke bawah, mau?"

 

Saya menganggukkan kepala dengan semangat, menatap ke arah jurang yang ditunjuk mamak dengan penasaran. Jurangnya dalam dan berundak karena terasering, kata mamak, setelah surut danaunya dialihfungsikan menjadi tanah pertanian untuk masyarakat sekitar. Waktu itu saya tidak melihat tanaman budidaya apapun selain rumput gajah yang besar juga ilalang yang awalnya membuat saya seperti sedang bermain labirin.


Saya melihat mamak menggandeng diri saya yang lain, memasuki rumpun ilalang dan beberapa rumput gajah yang tinggi, tetapi saya justru kehilangan mereka.

 

Saya tidak lagi mendengar celotehan suara saya sendiri dan tawa dari mamak, saya sendirian disana. Hanya terdengar hembusan angin sore hari dan warna nostalgia itu memudar jadi senja. Saya terkurung di lautan ilalang yang lebih tinggi, hanya bisa berlari ke depan berupaya untuk mengejar kenangan yang sebelumnya tergambar dengan jelas.


Saya tersandung berkali-kali, jatuh dan tidak lama kemudian saya berdiri terhuyung-huyung untuk kembali berlari. Saya tidak mau tinggal disini sampai senja yang berwarna semerah darah ini habis, saya tidak mau terjebak dalam kegelapan lagi dan dia bisa dengan leluasa menjemput saya. Saya menangis, kedua mata saya basah dan perasaan saya semakin kacau, lagi-lagi saya terjebak sendirian tanpa siapa pun di sekelilingku.


 

Saya mohon, tolong saya.

 


Kedua kaki saya lemas, saya tersandung untuk yang terakhir kalinya. Saya masih berusaha untuk bangun, tetapi tidak bisa.

Kaki saya sakit, sangat sakit.

Saya berusaha merangkak dengan menggapai tanah berbatu yang cadas dan kering, atau apa saja yang bisa membawa saya keluar dari lautan ini sebelum dia menemukan saya.

 


"Apa kamu melupakanku?"


 

Dia datang.

 


Suaranya datang mendekat bersama dengan hembusan angin dan genggaman kuat itu melingkari pergelangan kaki saya. Saya tidak mau melihatnya saat ia menarik saya dengan kasar sampai wajah saya menyapu tanah dan kerikil. Saya menangis, saya tidak mau melihatnya, dia akan membunuhku hari ini di alam pikiranku sendiri. Saya ketakutan, perasaan saya menjadi kacau, dia benar-benar akan membunuh saya, hari ini.

 

Tolong.

 

Tolong.

 


Tolong saya!


 

Catatan 3       : Agustus 2023


Ini hanya mimpi,

saya terjebak bertahun-tahun lamanya sampai hari ini.



Keterangan    : Jurnal VI, Ekspedisi Merah, Tahun 2014, 2016 dan 2023

Publikasi        : 13 Januari 2024

Sabtu, 05 Agustus 2023

Kalung itu Tidak Ditemukan, Saya Menciptakan Benda itu Tanpa Sengaja

Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2009

Catatan 1       : Agustus 2009

 

Ini adalah jurnal kelima yang saya publikasikan secara utuh untuk dibagikan kepada banyak orang. Saya berusia 9 tahun waktu itu, saya mulai suka bermain sendirian karena dikucilkan oleh kelompok se-permainan. Saya orang yang curang, tidak ada yang mau berteman dengan saya sejak saya terus menerus minta menang dan tidak bersedia kalah. Saya akan menangis dan bertingkah memalukan, kakak saya meminta saya lebih baik pulang daripada bertingkah menyebalkan. Saya mengurung diri saya dalam kesepian mendalam sejak lama, tidak ada yang tahu seberapa menyebalkannya saat mereka juga sama curangnya dan saya diminta terus mengerti.




Mereka lebih baik tidak ada.




Saya berpikir demikian, saya mengingat wajah-wajah mereka yang selalu mengatakan saya menyebalkan dan tidak menyenangkan. Saya benar-benar menarik diri dan tidak lagi berusaha masuk dalam lingkaran itu. Mereka sama memuakkannya seperti saya, jadi tidak ada yang lebih benar dari perbedaan sudut pandang ini.

Saya masih punya teman-teman yang lain, yang selalu datang ketika saya sedang jatuh telentang di bawah hamparan kabut hitam yang menutupi jarak pandang di pekarangan bekas kacang tanah milik saudara nenek saya, tepat di sebelah selatan rumah.



Teman-teman saya yang berwajah pucat dan abu-abu gelap itu tidak menyebalkan, mereka jauh lebih menyenangkan. Mereka membantu saya mencari tempat bersembunyi yang tidak akan diketahui siapapun. Mereka mendengarkan cerita saya tentang seberapa menyebalkannya teman sekelas saya yang suka mencontek atau teman satu lingkungan saya yang begitu memuakkan. Mereka mengajak saya bermain, berlari dan tertawa.


Saya menikmatinya.


Saya bahkan diajak membuat cinderamata yang akan sama-sama kami kenakan kemanapun kami pergi. Kami akan saling menemukan, dimanapun titiknya selama benda ini bersama kami, kami tidak akan saling kehilangan lengan. Saya memilih satu kalung yang tidak tahu asalnya dari mana, mungkin saja itu gantungan gawai milik ayah saya, tetapi saya mengambilnya diam-diam dari tempat sampah.

Saya merendamnya dalam air gayung seperti cara mereka, saya menggantungnya di paku yang mencuat dari dinding bambu WC saya yang terletak di bawah bukit, lokasinya di dekat rumah, di sebelah barat terpisah sepetak jalan pintas dan saluran air warga. Rumah saya berada di suatu tempat yang mungkin sulit dibayangkan, tetapi pada tahun itu tidak ada satu orang pun yang mempunyai WC di dalam rumah, kecuali orang kaya yang tinggal di kecamatan.


Kami harus merendamnya tujuh hari dan menggantungnya satu bulan, tidak boleh dipindah dan tidak boleh dibuang. Saya percaya kami tidak akan saling menghianati, jadi saya benar-benar serius melakukannya sampai langkah terakhir dan kami mengenakannya bersama-sama di suatu sore. Hari-hari berjalan dengan menyenangkan, kalung itu lebih dari sekadar benda, dia adalah salah satu benda paling penting di hidup saya sampai akhirnya dia datang dan akan merebutnya.


Saya membencinya.


Teman-teman saya selalu berlari dan menghindar saat dia datang. Saya selalu mendorongnya menjauh saat hendak merebut kalung saya yang berharga, ini kami buat bersama, tidak ada yang boleh mengambilnya begitu saja. Perempuan itu bau, saya tidak suka. Dia selalu mengintip dari pojok ruangan rumah saya dan berrtingkah seperti pencuri.


Saya tidak akan memberikan apa yang dia mau, dasar bau!


Saya memilih untuk menghancurkannya, di suatu sore bulan-bulan musim kemarau, saya mengendap-endap di dekat saluran air belakang rumah dan melemparkannya ke pekarangan milik orang. Saya melihat perempuan itu melesat pergi entah kemana, dia tak lagi mendatangi saya berhari-hari kemudian. saya juga tidak lagi tertarik mempunyai benda-benda seperti itu, teman-teman saya membuangnya, kami harus seragam atau kami akan kehilangan lengan.

 


Catatan 2       : Januari 2014


Saya menemukan benda itu lagi berada di atas tanah.


Perempuan bau itu mengikuti anak laki-laki dari tetangga sebelah rumah sejak entah kapan, dia menyapa dan mengatakan terima kasih karena mempertemukannya dengan anak yang dia inginkan. Dia memiliki benda yang saya buat dan menggenggamnya lebih erat dari pasir, mengatakan kalau saya akan iri dengan apa yang dimilikinya sama seperti saat saya masih kecil.

Dia mengatakan saya memiliki hati yang sangat buruk, jadi memiliki benda seperti itu pun saya tidak pantas. Seharusnya orang seperti saya menciptakan benda-benda serupa dengan energi yang lebih jahat. Tetapi dia masih bau, saya sangat membencinya. Saya melemparnya dengan batu setiap ia datang untuk mengejek dan teman-teman saya ketakutan jika saya mulai marah dan mengamuk seperti orang gila.




Saya benci perempuan itu.


Dia bau!


 

Keterangan    : Jurnal V, Ekspedisi Merah, Tahun 2009 dan 2014

Publikasi        : 05 Agustus 2023

Kamis, 03 Agustus 2023

Perempuan itu Bersembunyi di Bilik Kamar Mandi Paling Barat

Lokasi dirahasiakan, waktu : Tahun 2012



Catatan 1       : November 2012

Ini adalah jurnal keempat yang saya publikasikan secara utuh untuk dibagikan kepada banyak orang. Waktu itu matahari belum sepenuhnya naik diatas kepala, hari jum’at jadi kami mengenakan seragam pramuka dan diwajibkan mengikuti kegiatan kerja bakti di sekolah. Tidak ada pelajaran apapun hari itu, kami semua bebas dari kurungan. Kami hanya harus membersihkan uang kelas lalu bisa pulang pukul 10.00 WIB nanti. Beberapa kelas yang sudah menyelesaikan tugasnya kebanyakan pergi ke kantin sekolah atau bermain voli di lapangan tengah, hari itu menyenangkan, tidak ada sedikitpun kesepian yang saya alami. 


Saya menyukai suara yang bersahut-sahutan dibandingkan dengan kesunyian yang perlahan-lahan menelan saya dalam kegelapan. Saya menyadari selimut kabut hitam yang menyelimuti langit cerah di sekeliling rumah saya sampai batas dusun. Angin sore yang berhembus hangat dan sinar matahari senja yang semerah darah tak mampu menyingkap kabutnya sampai mata saya pedih jika berusaha merobeknya jadi butiran-butiran udara.


Kelas saya kosong, beberapa diantaranya mengumpul di kelas yang lain atau sekadar duduk di lantai depan kelas. Mereka berkomunikasi, tertawa, dan saling menanggapi satu sama lain. Saya akan duduk di pojok, memperhatikan semuanya, merangkum semuanya dan mempelajari bagaimana mereka bersikap dan berekspresi lalu melakukannya sama persis.


Sama persis seperti yang mereka lakukan satu sama lain, saya menirunya sama persis


Saya akan menikmati waktu-waktu dimana dunia berjalan dengan normal, bersama seiring dengan langkah kaki saya yang terkadang melambat.

Saya akan menikmati waktu sebelum saya kembali ditelan dimensi ruang dan waktu yang membingungkan seperti kabut hitam di langit rumah saya. Saya akan berusaha keras tetap berpijak pada kenyataan, sebelum terombang-ambing dalam ruang hampa tanpa jalan keluar. Saya akan terus bertahan sampai suara riuh di sekeliling saya perlahan menghilang, tergantikan menjadi suara seret langkah kaki yang bergerak mendekat.


Saya terkejut, salah seorang teman saya tertawa sambil memukul lengan saya.


Waktu singkat dan tepat, saya ditarik kembali ke dimensi ruang paling aman.

Suaranya menghilang, dalam sepersekian detik, saya merasa berterima kasih pada teman saya yang kini mengajak saya pergi ke kamar mandi di belakang gedung laboratorium IPA. Dia mengatakan kalau dia takut setelah mendengarkan cerita mengerikan disana yang tentu saja hanya hasil karangan konyol murid-murid sekolah menengah.


Saya tidak mendengar apapun soal ceritanya, mungkinkah mereka mendengarkannya saat aku sedang menghilang?


Apakah saya menghilang cukup lama?


Saya hanya mendengar 3-4 kali langkah itu diseret mendekat, tidak cukup lama sampai saya harus meninggalkan obrolan tersebut.



“Katanya disini ada setannya, tungguin aku di depan kamar mandi ya. Jangan jauh-jauh, aku takut...”



Saya mengangguk, ia menyeret saya ke tengah lorong kamar mandi yang saling berhadapan dengan kamar mandi putra. Jangan diharapkan sekolah saya berada di tengah-tengah kota yang kesemua bangunannya saling berkaitan satu sama lain.

Toilet ini berdiri sendiri, kalau saya pergi keluar lorong saya akan menemui satu bak besar tampungan air hujan dari semen dan di bagian utaranya ada tebing gunung kapur yang tinggi. Beberapa detail latar ceritanya tidak sama, saya menuliskan sesuatu yang sedikit berbeda dari kenyataan yang ada.


Teman saya lama, saat saya kembali ke dalam lorong saya lupa dia berada di bilik sebelah mana. Ada dua bilik yang tertutup rapat, bagian paling barat dan satu bilik di bagian tengah. Ada suara air di bilik paling barat, pasti dia sudah selesai, saya akan berpura-pura menunggunya di depan, supaya dia tidak marah dan merajuk.



“Sudah selesai? Kenapa tidak keluar?”



Saya bertanya sambil mengetuk pintu yang kini terbuka dengan mudah, seperti ia tak pernah benar-benar menguncinya. Saya sudah bersiap menegurnya untuk tak lagi melakukan hal itu, anak laki-laki SMP kami sangat nakal dan menyeramkan, ia bisa menjadi sasaran untuk diganggu.





Tetapi, saya tidak menemukannya. 



Teman saya tidak menggunakan bilik paling barat.

Teman saya menggunakan bilik nomor tiga.

Seseorang yang bersembunyi disana menatap saya sambil tersenyum hingga bibirnya robek dan mengalirkan darah kehitaman yang menetes-netes ke lantai kamar mandi.



Ia mengatakan “Ketemu! Ketemu!! Ketemu!!!” berkali-kali seperti mantra mengerikan yang mendorong saya sampai jatuh terduduk menabrak pintu bilik paling barat kamar mandi laki-laki yang kosong.


Dia wanita yang bersembunyi dalam kegelapan seperti lembayung kain hitam yang penuh debu. Darahnya berwana hitam dan mengental, mengalir di bawah rumbaian bayang-bayang yang menyembunyikan kakinya hingga menggenang di bawah tubuh saya. Seluruh tubuh saya gemetar ketakutan, ia menjatuhkan tubuhnya tepat di kaki saya sepersekian detik kemudian tanpa aba-aba, saya berteriak lebih keras dibandingkan kekehannya yang meneteskan liur juga darah yang bercampur.




“Ketemu! Ketemu! Ketemu!!! Aku mau kakimu!!!!”



“Kekkekkekekkkkkeee ... Kaki! Aku mau kakimu!!!!!”



“Ketemu! Aku mau kakimu!!!”





Saya berusaha menendangnya menjauh meskipun ia mencengkeram saya lebih kuat, gelombang darahnya mengental dan bau karbol kamar mandi semakin menyengat. Saya ingin berlari, tetapi ia kembali merapalkan mantra dan kekehan yang memuakkan. Saya ketakutan, saya ingin kembali berlari ke dimensi aman saya tanpa membawanya.

Saya ingin dia menghilang dan terbakar bersama debu, tenggelam dalam cairannya sendiri dan tidak lagi muncul dalam hidup saya selama-lamanya.



Hilang.

Saya kembali.




Kedua kaki saya penuh goresan kuku panjang dan terasa perih. Bilik kamar mandi paling barat itu kosong saat terbuka, bau karbolnya masih menyengat. Saya menyeret kaki saya karena entah kenapa telapaknya perih dan basah ke bilik nomor tiga bersamaan dengan teman saya yang keluar dari dalamnya.

Dia tersenyum dan merangkul lengan atas saya, “Makasih ya udah nemenin aku, tadi aku lama banget ya? Maafin ya Paaa ... ya?”

Saya mengangguk.


Kami kembali ke kelas, dengan saya yang masih menyeret langkah kaki saya tanpa sekali pun menengokkan kepala ke arah bilik paling barat. Mungkin saja dia kembali bersembunyi disana, menunggu orang lain menemukannya. Dia akan merapalkan mantra yang sama, merebut kaki-kaki siswa yang tak sadar bagaimana mereka bisa menyeret perempuan yang kini bersembunyi dalam bayangan.



Kaki saya sembuh dalam beberapa hari, ternyata ada luka gores di bagian telapak kaki yang cukup dalam, saya menyembunyikannya dari ibu saya. Tak lama saya kembali bertemu dengannya sedang memegang salah satu kaki teman sekelas saya yang baru saja patah tulang.


Dia kembali terkekeh dan menyapa saya sambil merapalkan kata, “Ketemu!”



Kami kembali saling bersembunyi untuk waktu yang lama dan saya tidak pernah lagi ingin bertemu dengannya. Sampai hari ini saya tidak tahu dia kembali bersembunyi dimana, saya tak lagi menemukannya di dimensi manapun.

Jika saya melihat bangunan toilet tua itu dari jalanan, ia tak pernah menunjukkan dirinya keluar dari bilik paling barat atau mungkin dia sudah pergi entah kemana.



Lagipula sepertinya dia memahami kesepakatan kami terakhir kali.


Kami tidak boleh saling menemukan lagi.

 

Keterangan    : Jurnal IV, Eskpedisi Merah, Tahun 2012

Publikasi        : 03 Agustus 2023

Selasa, 01 Agustus 2023

Nona itu Menggunakan Gaun Berwarna Jingga

Lokasi dirahasiakan, waktu : Tahun 2017



Catatan 1 : April 2017


Siang itu membosankan, saya berkali-kali meletakkan kepala diatas meja tanpa berniat memperhatikan pelajaran.


Pukul 10.00 WIB, masih terlalu pagi untuk mengantuk dan memilih memejamkan mata barang sejenak. Saya tidak sendiri, pelajaran ini membosankan, guru itu bolak-balik menulis ayat dan artinya di papan tulis lalu mulai berkhotbah. Saat saya mengangkat kepala, ada beberapa kepala lain yang beristirahat di atas mejanya masing-masing, tidak terkecuali teman sebangku saya yang sudah hilang ditelan alam mimpi sejak kelas ini dimulai.


Beberapa yang lain mengangkat kepala, menatap dan memperhatikan dengan serius papan tulis penuh coretan itu. Pada bagian yang lain di papan tulis masih ada rumus kimia yang belum di hapus, guru itu memilih berkali-kali menggunakan sisi barat papan tulis untuk menulis. Mengabaikan rumus kimia di sebelah timur, ia bertumpu di sudut meja guru dan mendongeng.


Ini kajian yang disampaikannya minggu lalu sewaktu saya mengikuti kajian rutin ekstrakurikuler Remaja Masjid, persis, tidak ada yang beda.

 

Saya tidak lagi menaruh atensi padanya, meminjam catatan menjelang ulangan jauh lebih mudah dibandingkan dengan mendengarkan ceramah yang sama berkali-kali. Saya menatap ke setiap sudut ruang kelas, berhenti pada kaca kecil tempat serbet digantung dekat wastafel di dalam ruang kelas. Saya tidak terkejut, ini terlalu biasa sejak saya mulai menyadari saya bisa melihat mereka sehari-hari. Ia terlihat lebih nyata dibandingkan dengan seluruh manusia di ruangan ini, duduk dengan tenang, seperti bayang-bayang rapuh yang bisa saja langsung menghilang.


Kursinya tidak kosong, disana ada salah satu teman sekelas saya yang tertidur pulas di kursi yang sama dengannya. Gadis pucat dengan rambut pirang dikepang samping itu terlihat berantakan, gaunnya berwarna jingga cerah dengan bercak darah dimana-mana, sudut pelipisnya terluka dan kelopak matanya mengelupas. Saya mengerjap berkali-kali dan ia tidak hilang dari kaca, saya menatap kenyataannya dan ia tak juga menghilang selama beberapa menit kemudian. Saya kehilangan konsentrasi pada menit-menit berikutnya karena tersedot dalam dunia yang hanya menampilkan kami berdua dari sudut pandang manapun, saya bahkan tak lagi mendengarkan suara guru atau keluhan lirih teman-teman sekelas.

 


Hanya ada kami.

 


Dia, gadis itu menatap saya di cermin dan mengulas senyuman.

Tulang pipinya menonjol tinggi, dia cantik sebenarnya, tetapi saya tidak tahu harus beraksi seperti apa saat saya menatapnya secara langsung ia sudah berada di depan wajah saya. Wajahnya yang tirus dan panjang mengulas senyuman paling mengerikan yang pernah saya lihat sampai hari. Ia berteriak dengan nyaring tepat di depan wajah saya, tetapi kedua lubang telinganya yang berdarah, matanya melotot nyaris keluar dan tulang pipinya semakin menonjol.

Dia hendak meraih wajah saya dengan kukunya yang hampir lepas, saya ingin melepaskan diri dari dunia ini. Dunia dimana hanya ada kami di kelas pagi, saling menatap dan saya sepenuhnya berada dalam kuasanya.


Saya memejamkan mata kuat-kuat dan tak lama setelahnya saya terjatuh dari kursi karena terkejut saat teman sekelas saya berteriak lebih nyaring, daripada-nya.


Tidak hanya satu atau dua orang siswa yang terkejut, beberapa siswa di sekitar bangku kami berlari menjauh dan guru kami mendekat untuk menenangkan teman sebangku saya yang masih memekik. Saya tertegun, menengokkan kepala kesan-kemari untuk mencari perempuan itu, perempuan bergaun jingga yang nyaris menyentuh wajah saya dengan tangannya.

 


Tidak ada.


 

Perempuan itu tidak ada dimana-mana.

 


Saya masih tertegun di lantai saat keriuhan itu terjadi di pojok kelas, teman sebangku saya masih kesurupan dan berteriak dengan nyaring, mengundang atensi dari setiap sudut. Ia baru tenang setelah beberapa menit, saya dibantu bangun oleh teman yang lain. Saya melihat teman saya dibawa ke UKS setelahnya, tetapi perempuan itu tidak ada sisanya dimana-mana.

 


Dia menghilang.


sampai hari ini, saya tidak berhasil berkomunikasi dengannya satu kali pun setelah peristiwa hari itu.

 

Keterangan      : Jurnal III, Ekspedisi Merah, 2017

Publikasi          : 01 Agustus 2023

Kamis, 27 Juli 2023

Jendela dekat Lemari di Kamar Ibu

 Lokasi dirahasiakan, waktu : tahun 2008





Catatan 1 : Juli 2023


Ini adalah jurnal kedua yang saya publikasikan secara utuh untuk dibagikan kepada banyak orang. Waktu itu saya masih berusia kurang lebih 8 tahun dengan ingatan yang samar-samar saya tulis kembali di usia 23 tahun. Saya tidak menyukai kamar ibu saya, terutama ketika ranjang berkelambu kami masih diletakkan di timur jendela kecil yang berdebu itu. Jendela kaca berukuran kurang dari 1 x 1 m itu jarang dibuka, sangat jarang dibuka sampai engselnya mengelupas dan berkarat.


Di dekatnya ada meja kayu reot tempat ibu meletakkan kosmetik, sisir, kaca kecil antik berbentuk persegi panjang, dan setumpuk buku partai kecil yang mirip sampah. Mungkin itu cara kampanye waktu itu, kami memiliki buku kecil berisi nama-nama caleg itu berserakan dimana-mana. Di bawah meja ada rak kecil tempat meletakkan sepatu kami, di sebelahnya ada lemari tua dengan dua pintu yang masing-masingnya berhias kaca berukuran 60 x 40 cm.


Saya tidak menyukai ruangan ini.


Saya memilih tidur di kamar yang lain sejak kecil, entah di usia berapa saya mulai tidak menyukainya. Kamar ini terang, tidak se-gelap kamar kakek dan nenek saya. Apalagi jika gorden jendela itu dibuka, lebih terang lagi, dan saya tidak menyukainya. Setiap habis mandi sore saya sering memilih diam berdiri di sana, menatap ke luar jendela yang melukiskan pemandangan senja berwarna semerah darah.

Jendela itu, pernah menunjukkan sesuatu yang sampai hari ini masih saya ingat. Waktu itu siang hari, saya mempunyai jadwal tetap untuk tidur siang dan ditinggalkan sendirian. Di kamar itu, bersembunyi di dalam kelambu berwarna merah muda pucat sambil pura-pura menutup mata mengelabui ibu. Setelah ibu pergi, mata saya terbuka, saya merogoh ke bawah bantal tempat menyembunyikan lembaran majalah tua yang  saya dapatkan dari dalam bilik lemari usang di kamar ibu.


Saya suka membaca, tidak ada yang bisa mendistraksi kegiatan saya, kecuali, satu.


Hari itu, musim kemarau, sekitar bulan Agustus, di tanggal yang tidak lagi saya ingat. Angin musim kering melewati celah-celah lubang angin yang menyingkap gorden jendela. Saya melihatnya disana, nenek tua itu berdiri di luar jendela. Itu bukan nenek saya, satu kali pun seumur hidup saya, nenek tidak pernah mengurai rambutnya yang berombak itu. Saya mungkin salah melihatnya sampai jendela itu diketuk dari luar, saya tidak mau melihatnya.


Sejauh yang saya tahu sampai saat ini, suara ketukan yang berasal dari ruang yang berseberangan dengan kita adalah sinyal. Suara ketukan ritmis itu menarik saya dari kenyataan seperti mimpi di siang hari, saya melupakan apa yang saya baca sebelumnya. Ini menarik, tetapi menakutkan, bahkan di siang hari, jendela itu mengirimkan teror untuk pertama kalinya yang dapat saya ingat.


Suaranya hilang, saya melompat dari ranjang yang tinggi itu untuk mengintip. Berharap menemukan sesuatu yang menarik, sesuatu yang menyebabkan jantung saya berdetak lebih cepat daripada saat ini.


Dia, masih disana.


Menatap ke arah selatan, rambutnya putih berkilau karena minyak dan tergerai lurus entah seberapa. Saya hanya mampu melihat kepalanya, baunya seperti minyak rambut lama yang sering dipakai nenek saya, sangat menyengat. Tak lama kemudian tercium bau minyak tanah pekat, bersama dengan hembusan angin yang menerbangkan gorden jendela.

Saya masih menatap kepalanya, anginnya berhenti dan gorden itu menutup jendela. Saya merasa kaki saya ditepuk dua kali, ada tangan kurus dingin yang mencekal pergelangannya. Saya terkejut sampai nyaris berteriak, sebelum terbangun. Semuanya seperti mimpi, saya melihat ibu saya sedang tersenyum, mengatakan saya harus bangun untuk mandi sore.


Saya kebingungan, semuanya lebih terasa seperti realita jika dinyatakan sebagai mimpi. Semuanya terproyeksi sampai angin sore yang berhembus menerbangkan gorden jendela masih membawa bau yang sama. Bau minyak rambut milik nenek dengan aroma minyak tanah dan kayu bakar yang menyengat. Saya tidak menyukainya.


Ini jurnal kedua yang menceritakan pengalaman misteri saya di bawah usia 10 tahun.


Saat saya masih belum benar-benar memisahkan realita dan fatamorgana.

Saat saya masih bisa mengenal mereka yang mengintip dari pintu kamar, meminta saya buru-buru mandi sebelum ibu marah. Daripada takut ibu marah, mungkin mereka jauh lebih takut tak bisa buru-buru menonton televisi.


Keterangan    : Jurnal II, Ekspedisi Merah, 2008

Publikasi        : 27 Juli 2023

Senin, 20 Desember 2021

Sebatas Terbiasa

 



“Heh, nyontek referensi laporan praktikummu dong! Sumpah, nggak mudeng aku!”


Aku mengangkat kepala begitu mendengar suaranya bergema. Ia berdiri di depanku dengan kedua tangan bertumpu di meja kayu. Tubuhnya yang condong ke depan membuatku menundukkan kepala dalam-dalam dan memilih kembali menulis pembahasan hasil praktikum. Lagipula memang bukan aku yang ia tanya. Bukan aku lagi yang dibutuhkannya. Bukan aku yang terlihat di matanya,


“Aku belum buat, Za. Jangan gangguin dong, tanya yang lain saja sana lho!” usir sahabatku yang kini menatapnya kesal. Dia berdecak sambil mengumpat lalu meninggalkan kami tanpa bicara sepatah katapun. Melihatku saja rasanya tidak sudi, apalagi bicara. Aku mengulas senyum miris pada diriku sendiri saat melihatnya kembali merengek meminta referensi pembahasan pada sekelompok temanku yang lain.


Padahal dulu, dulu sekali, sebelum ia menghapuskan keberadaanku. Ia begitu dekat denganku. Ia begitu bergantung padaku. Ia membuatku benar-benar diinginkan dan dianggap sekadar “ada”. Tidak sekali atau dua kali ia akan meminta catatanku sebelum ujian, meminjam buku referensi yang kurekomendasikan atau sekadar berkeliling perpustakaan setiap seminggu sekali bersama.


Jika ada aku, maka ada dia.

Terdengar klise tapi memang begitu adanya. Sesuatu yang sederhana dan membuatku terbiasa. Terbiasa bersamanya. Terbiasa mendengar celetukan ngawurnya ditengah mata kuliah. Terbiasa melihat aksi-aksi ajaibnya yang terkesan usil dan jahil. Terbiasa melihatnya menungguku selesai praktikum untuk pergi mencari referensi bersama. Semua tentangnya membuatku “terlalu terbiasa” dan tak terima ketika tiba-tiba ia menjauh dan menjadi acuh.


Mengapa dia tiba-tiba memilih untuk tak lagi bicara padaku?

Mengapa ia seolah membuat hubungannya denganku bagai air dan api yang tak pernah menjadi senyawa?


Padahal tanpa bicara, harusnya ia sudah tahu bahwa aku dan dia sudah terlalu terbiasa bersama dan canggung ketika tiba-tiba berpisah. Untuk tiba-tiba tak lagi saling mengenal, layaknya orang asing yang tak sengaja bertemu di lampu merah Malioboro.


Jika bisa bertanya, aku hanya ingin tahu alasannya. Aku ingin tahu, mengapa lama-lama kami bagaikan timur dan barat yang tak pernah searah? Mengapa kami menjadi begitu berbeda dan tak lagi sama? Arah, pandangan, pemikiran bahkan obrolan sambil lalu pun tak lagi sejalur. Ia dan aku bukan lagi jiwa yang separuhnya diikat benang merah sebuah mitos cinta. Kami tidak lebih dari dua insan yang kehilangan rasa dan bergelut dengan praduga. Berakhir pada sebuah kesalahpahaman yang awalnya saja tak kutahu berasal darimana.


Apa aku pernah menyakiti hatinya?


Apa aku pernah salah bicara padanya?


Apa aku pernah mengecewakannya?


Apa aku pernah menolak rengekannya soal referensi praktikum?


Sumpah, seingatku tidak pernah!



Tapi ia tetap terbungkam dan seolah memaksaku untuk mengaku kalah dan salah. Tapi tak apa, aku terima. Setidaknya, aku berharap ia tak lagi mengibarkan bendera perang padaku. Setidaknya, aku berharap dapat membuatnya kembali terbiasa denganku.


Paling tidak, ia mau bicara lagi padaku.


Jika pun tetap tak bisa, mungkinkah aku terlalu memaksa?


Mungkinkah aku yang terlalu mencintainya dengan keras kepala dan membuat idealismenya jatuh bebas?

Mungkinkah aku terlalu lemah dan perasa hingga membuatnya jengah?


atau, mungkin ia sudah benar-benar lelah dan tidah betah singgah.

Hingga tak ada jalan selain membuatku kembali terbiasa tanpanya. Terbiasa tanpa suara, senyuman dan tawanya. Terbiasa berpisah setelah sebelumnya terbiasa bersama.


Belajar melepaskan dirinya bukan sesuatu yang mudah. Bahkan wajahnya masih menjadi bias kenangan yang tak terlupakan. Meluruh runtuh bersama hujan yang kerap kali menjadi analogi kata rapuh. Harusnya sejak awal, kata “terbiasa” tak bisa benar-benar mengikatnya untuk terus menggenggam tanganku melewat batas garis waktu. Harusnya aku tak mengemis seperti pesimis dan membuatnya menatapku tragis.


Karena mulai hari ini, dia adalah sunyi yang tak ingin kucari,

bukan pula rindu, yang ingin kutemu.


Percayalah, aku juga akan terbiasa menjauh.  



 

C   O   L   L   E   G   E


Danau

  Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2014 Catatan 1        : Agustus 2014 Hari ini ada pengumuman lagi dari speaker masjid yang terdenga...