Senin, 20 Desember 2021

Sebatas Terbiasa

 



“Heh, nyontek referensi laporan praktikummu dong! Sumpah, nggak mudeng aku!”


Aku mengangkat kepala begitu mendengar suaranya bergema. Ia berdiri di depanku dengan kedua tangan bertumpu di meja kayu. Tubuhnya yang condong ke depan membuatku menundukkan kepala dalam-dalam dan memilih kembali menulis pembahasan hasil praktikum. Lagipula memang bukan aku yang ia tanya. Bukan aku lagi yang dibutuhkannya. Bukan aku yang terlihat di matanya,


“Aku belum buat, Za. Jangan gangguin dong, tanya yang lain saja sana lho!” usir sahabatku yang kini menatapnya kesal. Dia berdecak sambil mengumpat lalu meninggalkan kami tanpa bicara sepatah katapun. Melihatku saja rasanya tidak sudi, apalagi bicara. Aku mengulas senyum miris pada diriku sendiri saat melihatnya kembali merengek meminta referensi pembahasan pada sekelompok temanku yang lain.


Padahal dulu, dulu sekali, sebelum ia menghapuskan keberadaanku. Ia begitu dekat denganku. Ia begitu bergantung padaku. Ia membuatku benar-benar diinginkan dan dianggap sekadar “ada”. Tidak sekali atau dua kali ia akan meminta catatanku sebelum ujian, meminjam buku referensi yang kurekomendasikan atau sekadar berkeliling perpustakaan setiap seminggu sekali bersama.


Jika ada aku, maka ada dia.

Terdengar klise tapi memang begitu adanya. Sesuatu yang sederhana dan membuatku terbiasa. Terbiasa bersamanya. Terbiasa mendengar celetukan ngawurnya ditengah mata kuliah. Terbiasa melihat aksi-aksi ajaibnya yang terkesan usil dan jahil. Terbiasa melihatnya menungguku selesai praktikum untuk pergi mencari referensi bersama. Semua tentangnya membuatku “terlalu terbiasa” dan tak terima ketika tiba-tiba ia menjauh dan menjadi acuh.


Mengapa dia tiba-tiba memilih untuk tak lagi bicara padaku?

Mengapa ia seolah membuat hubungannya denganku bagai air dan api yang tak pernah menjadi senyawa?


Padahal tanpa bicara, harusnya ia sudah tahu bahwa aku dan dia sudah terlalu terbiasa bersama dan canggung ketika tiba-tiba berpisah. Untuk tiba-tiba tak lagi saling mengenal, layaknya orang asing yang tak sengaja bertemu di lampu merah Malioboro.


Jika bisa bertanya, aku hanya ingin tahu alasannya. Aku ingin tahu, mengapa lama-lama kami bagaikan timur dan barat yang tak pernah searah? Mengapa kami menjadi begitu berbeda dan tak lagi sama? Arah, pandangan, pemikiran bahkan obrolan sambil lalu pun tak lagi sejalur. Ia dan aku bukan lagi jiwa yang separuhnya diikat benang merah sebuah mitos cinta. Kami tidak lebih dari dua insan yang kehilangan rasa dan bergelut dengan praduga. Berakhir pada sebuah kesalahpahaman yang awalnya saja tak kutahu berasal darimana.


Apa aku pernah menyakiti hatinya?


Apa aku pernah salah bicara padanya?


Apa aku pernah mengecewakannya?


Apa aku pernah menolak rengekannya soal referensi praktikum?


Sumpah, seingatku tidak pernah!



Tapi ia tetap terbungkam dan seolah memaksaku untuk mengaku kalah dan salah. Tapi tak apa, aku terima. Setidaknya, aku berharap ia tak lagi mengibarkan bendera perang padaku. Setidaknya, aku berharap dapat membuatnya kembali terbiasa denganku.


Paling tidak, ia mau bicara lagi padaku.


Jika pun tetap tak bisa, mungkinkah aku terlalu memaksa?


Mungkinkah aku yang terlalu mencintainya dengan keras kepala dan membuat idealismenya jatuh bebas?

Mungkinkah aku terlalu lemah dan perasa hingga membuatnya jengah?


atau, mungkin ia sudah benar-benar lelah dan tidah betah singgah.

Hingga tak ada jalan selain membuatku kembali terbiasa tanpanya. Terbiasa tanpa suara, senyuman dan tawanya. Terbiasa berpisah setelah sebelumnya terbiasa bersama.


Belajar melepaskan dirinya bukan sesuatu yang mudah. Bahkan wajahnya masih menjadi bias kenangan yang tak terlupakan. Meluruh runtuh bersama hujan yang kerap kali menjadi analogi kata rapuh. Harusnya sejak awal, kata “terbiasa” tak bisa benar-benar mengikatnya untuk terus menggenggam tanganku melewat batas garis waktu. Harusnya aku tak mengemis seperti pesimis dan membuatnya menatapku tragis.


Karena mulai hari ini, dia adalah sunyi yang tak ingin kucari,

bukan pula rindu, yang ingin kutemu.


Percayalah, aku juga akan terbiasa menjauh.  



 

C   O   L   L   E   G   E


Rabu, 08 Desember 2021

Aku Berdiri di Seberangmu dalam Waktu yang Berbeda

 



Langit pagi hari di bulan Maret.


Mendung masih bertahan untuk terus menggantung, sejak kakiku menjejak pelataran stasiun Lempuyangan pukul 06.00 waktu setempat. Angin yang berhembus sesekali membawa uap air berlebih yang membuat kelembaban kota makin tinggi. Riuh rendah penumpang yang berdesakan keluar masuk, suara bel kereta, tangisan perpisahan dan pertemuan semuanya tumpah pagi ini.

sedangkan aku, masih tetap tegak berdiri sementara gerbong keretaku sudah menjauh pergi.


Mataku terkunci pada deretan kursi tunggu penumpang yang terlihat kosong, hingga seorang wanita berpakaian formal duduk disana, seorang bapak tua berkacamata kuno membaca koran dan seorang gadis muda yang sedang serius menatap layar smartphone. Lalu banyak orang lagi yang akhirnya duduk di sana untuk menunggu kereta. Aku tak sempat mengamati bagaimana morfologi orang-orang abstrak itu, fokusku beranjak pergi. Meninggalkan kenyataan, bertarung dalam pikiran lalu memilih untuk bernostalgia sebentar.


Aku masih ingat.


Tepat di deretan kursi itu, seseorang pernah duduk disana dengan penampilan paling berantakan yang pernah kulihat seumur hidupku. Nafasnya naik turun dan matanya berair, kantung matanya menghitam pekat. Ia menatapku tajam, yang kala itu dikerubuti teman-temanku yang mengantarkan kepergianku ke Jakarta. Jujur, aku cukup terperangah dengan kehadirannya setelah semua yang terjadi. Kedua tangannya memeluk sebuah kotak kaca yang tak perlu membuatku berpikir dua kali untuk tahu itu adalah koleksi serangga yang kami kumpulkan. Yang telah lama kami lupakan atau hanya aku saja yang pura-pura melupakannya.


Aku memang acuh padanya saat itu, aku menatapnya sesekali dengan terus tertawa bersama teman-temanku. Ia harus terbiasa, tanpa aku. Atau malah aku, yang harus terbiasa tanpa dia. Mungkin kami yang harus terbiasa, untuk tidak lagi bersama. Tapi ia tak juga beranjak, matanya pasti merah karena terlalu banyak menangis, beberapa orang di sekelilingnya menatapnya dengan tatapan yang membuatku ingin menempelengnya satu-satu. Dia bukan manusia yang harus ditatap serendah itu.


Dia ...


Celotehan dan tawa teman-temanku seolah menguap begitu saja ketika ia kembali menatapku dan tersenyum dengan air mata yang masih mengalir. Ia memilih meletakkan kotak itu di kursi tempatnya duduk lalu berbalik pergi. Musim kemarau yang kala itu mengantarkan kepergianku dari Yogyakarta terasa lebih panas dari biasanya, apalagi setelah dia meninggalkanku waktu itu, aku jauh lebih memilih pergi tanpa mengambil kotak kaca yang dibawanya. Sudah selayaknya kenangan seperti itu dibuang saja. Lagipula, aku tidak lagi ingin memberinya harapan yang memang tidak pernah ada. Aku punya banyak mimpi, cita-cita, harapan dan tentunya cinta yang berbeda dengannya, waktu itu ...


Tapi kini, aku ingin bertemu lagi dengannya.


Aku ingin menemaninya menunggu transjogja saat kakak laki-lakinya tak datang menjemput. Aku ingin mengajaknya berburu serangga untuk koleksi terbaru kami dan juga bahan penelitanku nanti. Aku ingin mengajaknya makan di angkringan sambil bertukar cerita tentang kegilaannya pada ilmu tanah dan pengelolaan lahan, juga kegilaanku pada hama, penyakit, gulma dan segala yang berhubungan dengan proteksi tanaman.

Aku tidak peduli tentang bagaimana kisah kami sebelumnya. Aku tidak akan lagi peduli pada apa reaksinya padaku nanti. Dia boleh memukuliku, menamparku bolak-balik, menempelengku hingga salah urat atau apapun.


Dia boleh melakukan apapun,


Menyadari betapa egoisnya aku kala itu, aku akan menerima balasanku hari ini. Begitu langkah kakiku sudah menjejak tanah berpasir, di tepi jalan raya dengan langit yang masih berwarna abu-abu gelap. Aku sudah siap memperbaiki semuanya, biar dikata se-terlambat apapun, aku tidak pernah sekali pun membencinya seperti yang aku katakan padanya kala itu. Aku hanya tidak ingin menyakitinya dengan menggantung harapannya yang setinggi lemari perpustakaan fakultas yang harus membuatnya melompat-lompat demi mendapatkan buku karangan Gardner soal Fisiologi Tanaman, ah ya...aku ingat, betapa bencinya ia pada mata kuliah satu itu,

Aku tersenyum tipis, lalu cepat-cepat menundukkan separuh badanku supaya bisa masuk ke dalam angkringan yang beratap terpal, dijaga oleh seorang bapak tua yang merokok sambil menatapku tulus, senyumnya lebar dengan beberapa giginya yang ompong dan menghitam.


“Ngunjuk menapa mas?” tanyanya.

“Teh anget, pak.” Jawabku, membuatnya lekas bergerak dan menyajikan segelas besar teh hangat di depanku, lalu kembali merokok. Menatap pada lalu lalang kendaraan di sekitar  stasiun pagi-pagi begini, sedangkan aku lebih tertarik mengamati interior dalam angkringannya.


Dulu ketika aku masih bersamanya, dia akan mengoceh panjang lebar soal assisten praktikumnya yang menyebalkan, tugas-tugas mendadak dari dosen yang jarang masuk kelas sampai gosip kedekatan teman sekelasnya. Hampir tak ada yang luput ia ceritakan padaku, kala itu ...

“Datang dari mana mas?” tanya bapak itu lagi, sebatang rokoknya sudah habis terbakar dan kini ia melinting kertas rokok lagi. Aku tersenyum, “Jakarta, pak.” jawabku, bapak itu manggut-manggut saja. 

Lama kami terdiam, bapak itu sibuk dengan rokoknya dan aku sibuk mengamati kepul asap dari ujung batang yang terbakar. Yah, sekali lagi aku masih ingat, hari ketika malam puncak perayaan ulang tahun fakultas kala itu, aku menyepi sebentar untuk merokok dan dia datang merecokiku dengan cerita-ceritanya yang lagi-lagi membuatku terbungkam. Aku suka mendengar suaranya, mendengar keluh kesahnya sebagai panitia acara ulang tahun fakultas, mendengar celotehannya yang dibumbui analogi ngawur, membuatku tertawa sampai terbatuk-batuk.


Dia menatapku dengan lirikan tajam, lalu mengatakan padaku bahwa, ‘jika aku ingin mati, aku tidak boleh mengajaknya. Jadi, jangan merokok di depannya kecuali ingin membunuhnya perlahan-lahan’. Ia pergi setelahnya, dengan berlari seperti anak-anak kala seorang perempuan lain memanggilnya. Sehari setelah itu, aku paham, dia menderita asma yang cukup sensitif terhadap debu dan asap. Bahkan mulai saat itu, tiba-tiba saja aku tak lagi merokok dengan dalih, pengen ngirit, pengen sehat atau pengen lainnya. Yang membuat beberapa temanku mengatakan aku sudah menjelma menjadi seorang budak cinta.


“Mas?”


Aku mendongakkan kepala, menatap bapak tua itu lagi yang sedang mengulum senyum. “Dua ribu lima ratus rupiah, mas. Saya mau pulang mas, mau tutup juga.” imbuhnya, aku tersentak kaget dan mengulurkan uang lima ribuan, selepas menenggak teh hangat cepat-cepat lalu menerima kembalian. Aku melangkah keluar dari tenda angkringan, meninggalkan angan-angan masa laluku disana. Biarkan saja mengendap bersama ampas teh di dasar gelas, lagipula sekarang aku lebih tertarik membuat kisah baru lagi dengannya untuk masa depan.


Melupakan segala kebodohanku yang sok idealis kala itu.


Aku datang ingin menemui bumiku lagi.

Bumi yang membawa sebagian besar jiwaku. Gadis dengan senyum secerah matahari pukul 12:00.


Oh, namanya Eartha.


Eartha Sastra.

 



C   O   L   L   E   G   E

Danau

  Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2014 Catatan 1        : Agustus 2014 Hari ini ada pengumuman lagi dari speaker masjid yang terdenga...