“Heh, nyontek referensi laporan praktikummu dong!
Sumpah, nggak mudeng aku!”
Aku mengangkat kepala begitu mendengar suaranya
bergema. Ia berdiri di depanku dengan kedua tangan bertumpu di meja kayu. Tubuhnya
yang condong ke depan membuatku menundukkan kepala dalam-dalam dan memilih
kembali menulis pembahasan hasil praktikum. Lagipula memang bukan aku yang ia
tanya. Bukan aku lagi yang dibutuhkannya. Bukan aku yang terlihat di matanya,
“Aku belum buat, Za. Jangan gangguin dong, tanya yang
lain saja sana lho!” usir sahabatku yang kini menatapnya kesal. Dia berdecak
sambil mengumpat lalu meninggalkan kami tanpa bicara sepatah katapun. Melihatku
saja rasanya tidak sudi, apalagi bicara. Aku mengulas senyum miris pada diriku
sendiri saat melihatnya kembali merengek meminta referensi pembahasan pada
sekelompok temanku yang lain.
Padahal dulu, dulu sekali, sebelum ia menghapuskan
keberadaanku. Ia begitu dekat denganku. Ia begitu bergantung padaku. Ia
membuatku benar-benar diinginkan dan dianggap sekadar “ada”. Tidak sekali atau
dua kali ia akan meminta catatanku sebelum ujian, meminjam buku referensi yang
kurekomendasikan atau sekadar berkeliling perpustakaan setiap seminggu sekali
bersama.
Jika ada aku, maka ada dia.
Terdengar klise tapi
memang begitu adanya. Sesuatu yang sederhana dan membuatku terbiasa. Terbiasa
bersamanya. Terbiasa mendengar celetukan ngawurnya ditengah mata kuliah.
Terbiasa melihat aksi-aksi ajaibnya yang terkesan usil dan jahil. Terbiasa melihatnya
menungguku selesai praktikum untuk pergi mencari referensi bersama. Semua
tentangnya membuatku “terlalu terbiasa” dan tak terima ketika tiba-tiba ia
menjauh dan menjadi acuh.
Mengapa dia tiba-tiba memilih untuk tak lagi bicara padaku?
Mengapa ia seolah membuat hubungannya denganku bagai air dan api yang tak pernah menjadi senyawa?
Padahal tanpa bicara, harusnya ia sudah tahu bahwa
aku dan dia sudah terlalu terbiasa bersama dan canggung ketika tiba-tiba
berpisah. Untuk tiba-tiba tak lagi saling mengenal, layaknya orang asing yang
tak sengaja bertemu di lampu merah Malioboro.
Jika bisa bertanya, aku hanya ingin tahu alasannya.
Aku ingin tahu, mengapa lama-lama kami bagaikan timur dan barat yang tak pernah
searah? Mengapa kami menjadi begitu berbeda dan tak lagi sama? Arah, pandangan,
pemikiran bahkan obrolan sambil lalu pun tak lagi sejalur. Ia dan aku bukan
lagi jiwa yang separuhnya diikat benang merah sebuah mitos cinta. Kami tidak
lebih dari dua insan yang kehilangan rasa dan bergelut dengan praduga. Berakhir
pada sebuah kesalahpahaman yang awalnya saja tak kutahu berasal darimana.
Apa aku pernah menyakiti hatinya?
Apa aku pernah salah bicara padanya?
Apa aku pernah mengecewakannya?
Apa aku pernah menolak rengekannya soal referensi praktikum?
Sumpah, seingatku tidak pernah!
Tapi ia tetap terbungkam dan seolah memaksaku untuk mengaku kalah dan salah. Tapi tak apa, aku terima. Setidaknya, aku berharap ia tak lagi mengibarkan bendera perang padaku. Setidaknya, aku berharap dapat membuatnya kembali terbiasa denganku.
Paling tidak, ia mau bicara lagi padaku.
Jika pun tetap tak bisa, mungkinkah aku terlalu memaksa?
Mungkinkah aku yang terlalu mencintainya dengan keras kepala dan membuat idealismenya jatuh bebas?
Mungkinkah aku terlalu lemah dan perasa hingga membuatnya jengah?
atau, mungkin ia sudah benar-benar lelah dan tidah betah singgah.
Hingga tak ada jalan selain membuatku kembali terbiasa tanpanya.
Terbiasa tanpa suara, senyuman dan tawanya. Terbiasa berpisah setelah
sebelumnya terbiasa bersama.
Belajar melepaskan dirinya bukan sesuatu yang mudah. Bahkan wajahnya masih menjadi bias kenangan yang tak terlupakan. Meluruh runtuh bersama hujan yang kerap kali menjadi analogi kata rapuh. Harusnya sejak awal, kata “terbiasa” tak bisa benar-benar mengikatnya untuk terus menggenggam tanganku melewat batas garis waktu. Harusnya aku tak mengemis seperti pesimis dan membuatnya menatapku tragis.
Karena mulai hari ini, dia adalah sunyi yang tak ingin kucari,
bukan pula rindu, yang ingin kutemu.
Percayalah, aku juga akan terbiasa menjauh.
C O
L L E
G E

