Rabu, 19 September 2018

Teman Sekelas

 



Mungkin waktu itu cuma kebetulan saja, saat kita berada di kelas yang sama, arah jalan pulang yang sama, humor yang sama dan berakhir menempati lembar buku tahunan yang sama.

 


Aku pikir semuanya akan selesai saat tokohnya berakhir menjadi toko pemeran pria pendamping atau apa yang sering disebut dengan second lead. Aku pikir kisahnya mungkin tidak akan sebanyak pemeran utama karena hanya memakan waktu satu tahun untuk benar-benar merasakannya.



Ah... mungkin kami cuma sekadar berkomunikasi.



Sebagai sesama manusia, bersosialisasi, menertawakan banyak hal yang sama, mengkhawatirkan bocoran kunci jawaban yang sama, mempelajari materi ulangan harian yang sama. Yang terkadang secara acak duduk satu bangku, mengendarai sepeda kayuh dengan jalur yang sama hingga tanpa sadar terus melakukannya sebagai bentuk kebiasaan. Habit yang wajar antar teman sekelas,


Ah... mungkin kami hanya mempunyai selera humor yang sama


Sebuah kebetulan yang menyenangkan, bukan?



“Ya, kenapa sih kamu selalu jalan kaki bawa helm?”


“Hmm... paginya aku bareng kakak kelas, XII MIPA 3.”


“Kalau bareng aku mau?”


Aku menggeleng, “Telat. Kamu siang, nanti dihukum lari keliling lapangan pake helm. Malu-maluin, kalo kamu kan enggak!”


“Dih, aku nawarin biar kita nggak cuma bareng pas pulang doang. Oh... atau nggak, kamu naik sepeda aja? Bisa kan?”


Aku mengangguk, “Bisa, sepedanya nggak ada. Beliin!”


Dia menempelang kepalaku, tidak keras. Lalu tertawa, sedetik kemudian entah siapa yang dia sapa di tempat parkir motor sepadat ini sambil melambaikan tangannya.


Teman sekelas kami atau bukan?


“Hoiiii!! Yok, duluan ajaaa!!! Gue nganterin Yaya pulang dulu, babi!”


Bukan.


Seorang laki-laki dengan rambut jabrik dan bertubuh gempal dengan motor modifikasi yang tidak beda jauh dengan miliknya hanya membalas dengan menganggukkan kepala. Aku mengenalnya, laki-laki itu adalah kakaknya yang kebetulan adalah kakak kelas kami. Anak kelas XI yang kebetulan pernah mendatangi kelas kami hanya untuk meminjam seragam olahraga.



“Ayo naik! Aku mau pergi habis ini,”


“Aku jalan, biasanya juga gitu.”


Dahinya berkerut tidak setuju lalu menggelengkan kepala, “Nanti ada orang gila lagi loh deket warnet situ, kamu nggak takut? Kemarin aja kamu balik lagi ke sekolah kan gara-gara ketakutan,”


Aku mengangguk cepat, “Aku takut orang gila. Jadi, ayo pulang.”



Dia tertawa, menarik tuas gasnya dan membiarkan motor modifikasi –rongsokan- ini keluar dari tempat parkir super padat. Melewati satpam dan beberapa teman yang kami kenal, menyapa sebentar dan motor –sialan- ini sedang menunjukkan eksistensinya yang super menganggu. Knalpotnya tidak standar dan suaranya bising minta ampun, sejenis suara knalpot yang mampu membuat orang-orang menengokkan kepala sambil mencibir. Belum lagi dengan pijakannya yang hanya ada satu, untuk pengendara, bukan penumpang.


Aku harus dengan puas menumpang sampai depan rumah dengan kaki terombang-ambing.



“Siang ini aku mau pake pijakan kakinya.”


“Lah aku? Masa kakiku ngambang sih Ya? Ngaco ah...”


“Tapi dudukku nggak enak, melorot. Kamu sih, motor bagus-bagus dipretelin.”


“Ini seni. Kamu bakalan tahu rasanya kalau kamu suka hal-hal kaya gini,”


“Pijakannya tetep aku yang pake.”


“Aku bakalan lepas setang kalo kamu tetep geser-geser kakiku di pijakan motor, Ya!”


“Tapi aku gamau pegangan sama kamu.”


“Tinggal pegangan doang, Yaya! Darma juga nggak bakalan ngeh kamu pegangan sama tukang ojek kaya aku.”


Darma.


Oh, anak laki-laki kelas bawah yang kebetulan mempunyai arah jalan pulang berbeda dengan kami. Seseorang yang kebetulan menempati posisi istimewa, jauh lebih agung daripada cowok yang waktu itu berupaya menendang kakiku dari pijakan motor. Mengoceh hal-hal yang tidak penting, mengeluh dengan serangkaian mata pelajaran yang membebankan pekerjaan rumah level iblis.


Lalu, menertawakannya.



“Ya! Yaaa... lihat nih, lihat!!! Aku lepas setang motornya.”


“Bego! Jangan ketawa, goblok. Itu pegang lagiii...”



Lagi-lagi kami jadi yang paling berisik. Di jalanan. Di dekat lampu merah perempatan sebelum pulang ke rumah. Perkara lepas setang dan rebutan pijakan kaki, mengundang tatapan aneh dari pengendara motor lainnya. Seorang cewek histeris berkepang dua dan cowok dengan helm fullface yang mengendarai sepeda motor modifikasi –rongsokan-. Mengumpat, mengobrol, tertawa dan kadang terdiam.



Menjelang pulang ke rumah, pukul 14.00 WIB.



C   L   A   S   S   I   C

Jumat, 07 September 2018

Namanya Darma

 




Namanya Darma.

 

Tinggi badannya lebih dari 175 cm, berkacamata minus, satu-satunya fanatis ideologi sosialis yang kukenal, seseorang yang selalu adzan di masjid sekolah ketika menjelang waktu dzuhur, penganut mode celana cingkrang dan kalau tidak salah menurut akun media sosialnya ia lahir pada bulan September dibawah naungan zodiak virgo.

Darma adalah anak laki-laki satu angkatanku dan merupakan orang pertama yang menarik perhatianku ketika masa pendaftaran. Kami satu kelas selama masa orientasi dalam jangka waktu 7 hari.  Dia terlihat seperti anak laki-laki yang minim ekspresi dan cenderung murung setiap hari.

 

Darma adalah siswa yang selalu datang paling awal di kelas waktu itu.

 

Ia akan duduk di bangkunya sambil menggunakan earphone warna hitam dan membaca buku-buku teori ideologi negara. Atau pernah sekali waktu ia mendengarkan lagu yang tak kumengerti sama sekali bahasa, nada apalagi maknanya lewat pengeras suara. Dan ketika menyadari kedatangan orang lain, ia segera mencabut flashdisknya lalu melangkah pergi keluar kelas.

Sayangnya, aku hanya satu kelas dengannya selama satu minggu. Itu pun tanpa interaksi apa-apa.

Setelahnya, kami menempati ruang kelas yang berbeda sesuai dengan peminatan.

Berpisah kelas dan ruangan dengan Darma sedikit menimbulkan kesan lain, karena di kelasku tak ada yang seperti dia.

Tidak ada yang bakal datang pagi hanya untuk mendengarkan lagu-lagu patriotis lewat pengeras suara kelas. Tidak ada yang dengan menggebu-gebu menceritakan perihal teori konspirasi politik pada teman-teman barunya. Tidak ada Darma yang selalu menatap penuh rasa ingin tahu pada buku-buku usang memuat judul konspirasi.

Untuk menghindari kekosongan ruang di hatiku, sebelum pergi ke kelas aku akan melewati koridor depan ruang kelasnya. Dan jawabannya, Darma sudah duduk di salah satu bangku sambil memejamkan mata, mendengarkan sesuatu dari earphone warna hitamnya. Dia terlihat damai dan bahagia di setiap pagi. Meski terkadang di waktu-waktu tertentu bangkunya akan kosong, entahlah mungkin dia sakit, mungkin dia ikut lomba atau mungkin dia izin karena kepentingan keluarga.

 

Yang jelas, kadang dia tidak masuk.

 

Seingatku, selama satu tahun kami menempuh pendidikan sekolah menengah tingkat atas, kami tak pernah sekalipun berbincang, bahkan menyapa pun tidak. Kami hanyalah selayaknya orang asing di pasar yang berlalu lalang, bukannya penjual dan pembeli. Tidak ada situasi yang mengharuskan kami berinteraksi. Aku pernah mencoba menyapa dengan tersenyum padanya, akan tetapi dia hanya melebarkan matanya.

 

Lalu berakhir dengan ia yang membuang muka.

 

Padahal jika diingat-ingat kembali, kami selalu bertemu pada setiap kesempatan maupun kesempitan. Bahkan di tempat-tempat tak terduga dan di waktu yang tidak memungkinkan. Entah itu di jalan raya, di warung makan, di warnet, di tempat wifi, di cafe, di koridor sekolah, di ajang presentasi karya ilmiah, dan dimana-mana.

Parahnya, di setiap pertemuan itu Darma tidak pernah mengatakan apa-apa.

 

Yah, terkecuali secara tidak langsung.

 

Saat aku membawakan presentasi karya ilmiah di depan seluruh perwakilan kelas, tiba-tiba saja Darma mengacungkan tangannya, siap-siap bertanya. Dan pertanyaan menakjubkan sekaligus menjatuhkan darinya ia serangkan padaku tanpa welas asih. Aku bahkan tak bisa bicara banyak waktu itu, sampai sesi tanya jawab berakhir.

Hanya Darma yang menjadi penanya dan aku menjawabnya dengan payah.

Ekspresinya yang hanya mampu melukis senyuman tipis saat pertanyaannya terjawab. Meskipun kadang dia akan mengerutkan kening sambil menggelengkan kepala saat jawaban tidak sesuai, menurutnya. Interaksi di akhir tahun pertama ketika Darma menatapku seolah tengah memahami setiap makna kata yang kuucapkan. Darma yang tidak bisa memutuskan kontak mata ketika kami tengah berargumen dalam sorotnya yang mengintimidasi.

Aku mulai merasa berinteraksi dengannya meningkatkan adrenalinku hingga ke batas maksimal. Awal tahun kedua di SMA aku mengikuti ekstrakurikuler yang sama dengannya, tiga sekaligus. Aku semakin berambisi untuk mengetahui bagaina caranya berpikir, mengapa dia bisa terlihat begitu pintar pada banyak hal? Padahal buku yang ia baca hanya memuat teori, konspirasi dan beragam sejarah sosialis.

 

Mengapa dia bisa aktif dan memahami dalam kegiatan lapangan kepramukaan?

 

Mengapa dia bisa berargumentasi dengan sangat baik dalam klub bahasa inggris?

 

Mengapa?

 

Mengapa kami selalu memiliki posisi duduk yang berhadapan sewaktu rapat melingkar?

 

Ia yang akan duduk di seberangku sambil menatap ke seluruh mata yang ada disana tanpa sekalipun menundukkan muka. Dia memang sangat percaya diri  dengan terkadang membenarkan letak kacamata persegi panjangnya yang membuatnya terlihat menyebalkan.

Ia memang menarik perhatianku sejak masa pendaftaran. Karakternya, style dan mode-nya, kaca mata perseginya, hingga caranya berbicara dan mengerutkan kening. Dia begitu menyebalkan karena membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya. Hari ke hari dengan kebiasaan melelahkan melihatnya setiap pagi kulakukan hingga akhir semester di kelas XII.

 

Selama tiga tahun, kami tak pernah benar-benar berinteraksi.

 



C   L   A   S   S   I   C


Danau

  Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2014 Catatan 1        : Agustus 2014 Hari ini ada pengumuman lagi dari speaker masjid yang terdenga...