Mungkin waktu itu
cuma kebetulan saja, saat kita berada di kelas yang sama, arah jalan pulang
yang sama, humor yang sama dan berakhir menempati lembar buku tahunan yang
sama.
Aku pikir semuanya akan selesai saat tokohnya berakhir
menjadi toko pemeran pria pendamping atau apa yang sering disebut dengan second
lead. Aku pikir kisahnya mungkin tidak akan sebanyak pemeran utama karena hanya
memakan waktu satu tahun untuk benar-benar merasakannya.
Ah... mungkin kami cuma sekadar berkomunikasi.
Sebagai sesama manusia, bersosialisasi, menertawakan
banyak hal yang sama, mengkhawatirkan bocoran kunci jawaban yang sama,
mempelajari materi ulangan harian yang sama. Yang terkadang secara acak duduk
satu bangku, mengendarai sepeda kayuh dengan jalur yang sama hingga tanpa sadar
terus melakukannya sebagai bentuk kebiasaan. Habit yang wajar antar teman
sekelas,
Ah... mungkin kami hanya mempunyai selera humor yang
sama
Sebuah kebetulan yang menyenangkan, bukan?
“Ya, kenapa sih kamu selalu jalan kaki bawa helm?”
“Hmm... paginya aku bareng kakak kelas, XII MIPA 3.”
“Kalau bareng aku mau?”
Aku menggeleng, “Telat. Kamu siang, nanti dihukum lari
keliling lapangan pake helm. Malu-maluin, kalo kamu kan enggak!”
“Dih, aku nawarin biar kita nggak cuma bareng pas
pulang doang. Oh... atau nggak, kamu naik sepeda aja? Bisa kan?”
Aku mengangguk, “Bisa, sepedanya nggak ada. Beliin!”
Dia menempelang kepalaku, tidak keras. Lalu tertawa, sedetik kemudian entah siapa yang dia sapa di tempat parkir motor sepadat ini sambil melambaikan tangannya.
Teman sekelas kami atau bukan?
“Hoiiii!! Yok, duluan ajaaa!!! Gue nganterin Yaya
pulang dulu, babi!”
Bukan.
Seorang laki-laki dengan rambut jabrik dan bertubuh
gempal dengan motor modifikasi yang tidak beda jauh dengan miliknya hanya
membalas dengan menganggukkan kepala. Aku mengenalnya, laki-laki itu adalah
kakaknya yang kebetulan adalah kakak kelas kami. Anak kelas XI yang kebetulan
pernah mendatangi kelas kami hanya untuk meminjam seragam olahraga.
“Ayo naik! Aku mau pergi habis ini,”
“Aku jalan, biasanya juga gitu.”
Dahinya berkerut tidak setuju lalu menggelengkan
kepala, “Nanti ada orang gila lagi loh deket warnet situ, kamu nggak takut?
Kemarin aja kamu balik lagi ke sekolah kan gara-gara ketakutan,”
Aku mengangguk cepat, “Aku takut orang gila. Jadi, ayo
pulang.”
Dia tertawa, menarik tuas gasnya dan membiarkan motor
modifikasi –rongsokan- ini keluar dari tempat parkir super padat. Melewati
satpam dan beberapa teman yang kami kenal, menyapa sebentar dan motor –sialan-
ini sedang menunjukkan eksistensinya yang super menganggu. Knalpotnya tidak
standar dan suaranya bising minta ampun, sejenis suara knalpot yang mampu
membuat orang-orang menengokkan kepala sambil mencibir. Belum lagi dengan
pijakannya yang hanya ada satu, untuk pengendara, bukan penumpang.
Aku harus dengan puas menumpang sampai depan rumah
dengan kaki terombang-ambing.
“Siang ini aku mau pake pijakan kakinya.”
“Lah aku? Masa kakiku ngambang sih Ya? Ngaco ah...”
“Tapi dudukku nggak enak, melorot. Kamu sih, motor
bagus-bagus dipretelin.”
“Ini seni. Kamu bakalan tahu rasanya kalau kamu suka
hal-hal kaya gini,”
“Pijakannya tetep aku yang pake.”
“Aku bakalan lepas setang kalo kamu tetep geser-geser
kakiku di pijakan motor, Ya!”
“Tapi aku gamau pegangan sama kamu.”
“Tinggal pegangan doang, Yaya! Darma juga nggak
bakalan ngeh kamu pegangan sama tukang ojek kaya aku.”
Darma.
Oh, anak laki-laki kelas bawah yang kebetulan
mempunyai arah jalan pulang berbeda dengan kami. Seseorang yang kebetulan
menempati posisi istimewa, jauh lebih agung daripada cowok yang waktu itu
berupaya menendang kakiku dari pijakan motor. Mengoceh hal-hal yang tidak
penting, mengeluh dengan serangkaian mata pelajaran yang membebankan pekerjaan
rumah level iblis.
Lalu, menertawakannya.
“Ya! Yaaa... lihat nih, lihat!!! Aku lepas setang
motornya.”
“Bego! Jangan ketawa, goblok. Itu pegang lagiii...”
Lagi-lagi kami jadi yang paling berisik. Di jalanan.
Di dekat lampu merah perempatan sebelum pulang ke rumah. Perkara lepas setang
dan rebutan pijakan kaki, mengundang tatapan aneh dari pengendara motor
lainnya. Seorang cewek histeris berkepang dua dan cowok dengan helm fullface yang mengendarai sepeda motor
modifikasi –rongsokan-. Mengumpat, mengobrol, tertawa dan kadang terdiam.
Menjelang pulang ke rumah, pukul 14.00 WIB.
C L
A S S
I C

