Lokasi dirahasiakan, waktu : tahun 2008
Ini adalah jurnal
kedua yang saya publikasikan secara utuh untuk dibagikan kepada banyak orang.
Waktu itu saya masih berusia kurang lebih 8 tahun dengan ingatan yang
samar-samar saya tulis kembali di usia 23 tahun. Saya tidak menyukai kamar ibu
saya, terutama ketika ranjang berkelambu kami masih diletakkan di timur jendela
kecil yang berdebu itu. Jendela kaca berukuran kurang dari 1 x 1 m itu jarang
dibuka, sangat jarang dibuka sampai engselnya mengelupas dan berkarat.
Di dekatnya ada meja kayu
reot tempat ibu meletakkan kosmetik, sisir, kaca kecil antik berbentuk persegi
panjang, dan setumpuk buku partai kecil yang mirip sampah. Mungkin itu cara
kampanye waktu itu, kami memiliki buku kecil berisi nama-nama caleg itu
berserakan dimana-mana. Di bawah meja ada rak kecil tempat meletakkan sepatu
kami, di sebelahnya ada lemari tua dengan dua pintu yang masing-masingnya
berhias kaca berukuran 60 x 40 cm.
Saya tidak menyukai
ruangan ini.
Saya memilih tidur di
kamar yang lain sejak kecil, entah di usia berapa saya mulai tidak menyukainya.
Kamar ini terang, tidak se-gelap kamar kakek dan nenek saya. Apalagi jika
gorden jendela itu dibuka, lebih terang lagi, dan saya tidak menyukainya.
Setiap habis mandi sore saya sering memilih diam berdiri di sana, menatap ke
luar jendela yang melukiskan pemandangan senja berwarna semerah darah.
Jendela itu, pernah
menunjukkan sesuatu yang sampai hari ini masih saya ingat. Waktu itu siang
hari, saya mempunyai jadwal tetap untuk tidur siang dan ditinggalkan sendirian.
Di kamar itu, bersembunyi di dalam kelambu berwarna merah muda pucat sambil
pura-pura menutup mata mengelabui ibu. Setelah ibu pergi, mata saya terbuka,
saya merogoh ke bawah bantal tempat menyembunyikan lembaran majalah tua
yang saya dapatkan dari dalam bilik
lemari usang di kamar ibu.
Saya suka membaca, tidak
ada yang bisa mendistraksi kegiatan saya, kecuali, satu.
Hari itu, musim kemarau,
sekitar bulan Agustus, di tanggal yang tidak lagi saya ingat. Angin musim
kering melewati celah-celah lubang angin yang menyingkap gorden jendela. Saya
melihatnya disana, nenek tua itu berdiri di luar jendela. Itu bukan nenek saya,
satu kali pun seumur hidup saya, nenek tidak pernah mengurai rambutnya yang
berombak itu. Saya mungkin salah melihatnya sampai jendela itu diketuk dari
luar, saya tidak mau melihatnya.
Sejauh yang saya tahu
sampai saat ini, suara ketukan yang berasal dari ruang yang berseberangan
dengan kita adalah sinyal. Suara ketukan ritmis itu menarik saya dari kenyataan
seperti mimpi di siang hari, saya melupakan apa yang saya baca sebelumnya. Ini
menarik, tetapi menakutkan, bahkan di siang hari, jendela itu mengirimkan teror
untuk pertama kalinya yang dapat saya ingat.
Suaranya hilang, saya melompat dari ranjang yang tinggi itu untuk mengintip. Berharap menemukan sesuatu yang menarik, sesuatu yang menyebabkan jantung saya berdetak lebih cepat daripada saat ini.
Dia, masih disana.
Menatap ke arah selatan, rambutnya putih berkilau karena minyak dan tergerai lurus entah seberapa. Saya hanya mampu melihat kepalanya, baunya seperti minyak rambut lama yang sering dipakai nenek saya, sangat menyengat. Tak lama kemudian tercium bau minyak tanah pekat, bersama dengan hembusan angin yang menerbangkan gorden jendela.
Saya masih menatap
kepalanya, anginnya berhenti dan gorden itu menutup jendela. Saya merasa kaki
saya ditepuk dua kali, ada tangan kurus dingin yang mencekal pergelangannya.
Saya terkejut sampai nyaris berteriak, sebelum terbangun. Semuanya seperti
mimpi, saya melihat ibu saya sedang tersenyum, mengatakan saya harus bangun
untuk mandi sore.
Saya kebingungan,
semuanya lebih terasa seperti realita jika dinyatakan sebagai mimpi. Semuanya
terproyeksi sampai angin sore yang berhembus menerbangkan gorden jendela masih
membawa bau yang sama. Bau minyak rambut milik nenek dengan aroma minyak tanah
dan kayu bakar yang menyengat. Saya tidak menyukainya.
Ini jurnal kedua yang menceritakan pengalaman misteri saya di bawah usia 10 tahun.
Saat saya masih belum benar-benar memisahkan realita dan fatamorgana.
Saat saya masih bisa mengenal
mereka yang mengintip dari pintu kamar, meminta saya buru-buru mandi sebelum
ibu marah. Daripada takut ibu marah, mungkin mereka jauh lebih takut tak bisa
buru-buru menonton televisi.
Keterangan : Jurnal II, Ekspedisi Merah, 2008
Publikasi : 27 Juli 2023
