Selasa, 19 Mei 2020

Benang Merah yang Tidak Terpasang dengan Benar




Ada yang mengatakan jika perasaan benci dan cinta itu nyaris tak ada bedanya.


Sesuatu yang pasti seperti sains atau abstrak seperti aliran seni, tak ada yang bisa menjelaskannya. Seperti sebuah paragraf rumpang dalam soal ulangan harian anak sekolah, cinta dan benci begitu bias maknanya. Bisa jadi iya, bisa pula tidak. Pemahaman maknanya sulit dicerna, sulit dijabarkan dan sulit dijelaskan. Karena katanya jika takdir menggariskan cinta melalui benang merah yang terpasang di jari kelingking manusia, maka benci bisa jadi adalah indikasi benang yang tidak terpasang dengan benar.


Jadi, meskipun takdirnya tertulis denganku, apa jadinya kalau benang merah kami tak terpasang dengan benar?


Apakah kisah fantasi kami hanya akan jadi angan-angan yang mudah terbawa bersama hembusan angin? Apakah senyuman yang kami lemparkan satu sama lain hanya bias nostalgia yang tidak akan terjadi lagi di masa depan? Apakah percakapan kami di lorong gedung kampus itu hanyalah dialog kosong tidak berarti saat kami mulai saling melewati?


“Udah baikkan Ra sama Paskal?”


Aku menggeleng, melirik kearahnya yang sedang mempersiapkan presentasi di depan kelas bersama teman sekelompoknya. Memangnya apa yang perlu diperbaiki dari kami? Hubungan pertemanan kami tidak sedekat itu untuk mengucapkan kata-kata sensitif seperti maaf dan terimakasih, yah... seperti teman sekelas dalam satu dua mata kuliah yang pernah saling menyapa.


Lalu apa?

Cara kami berkomunikasi juga masih normal, hanya saja ada rasa enggan untuk memulai percakapan sejak sore itu. Sejak kami saling melemparkan kalimat-kalimat kebencian dengan perasaan yang tidak menyenangkan.


Hingga hari ini,

“Baikkan lah Ra, kalian kan temenan.”

“Sejak kapan?”

“Halah... bilang enggak temenan tapi penting banget ya sampe ditanyain pulang jam berapa.”

“Diem, Na. Berisik!” tegurku saat presentasi siap dimulai.


Aku ingat, tadi pagi dia tiba-tiba berdiri di belakang punggungku saat kami hendak memasuki laboratorium yang berbeda untuk praktikum. Kupikir setelah kami sama-sama saling membenci sore itu, kami akan saling melewati untuk waktu yang lama. Kupikir setelah kami kembali disatukan dalam satu divisi yang merepotkan dalam kepanitiaan dan ia kembali memuntahkan keresahannya padaku, kami akan kembali saling membenci.


Tetapi aku ragu.


Kami tidak benar-benar saling membenci. Meskipun aku mengatakan dirinya menyebalkan dan ia percaya bahwa aku adalah manusia aneh yang merepotkan. Kami tidak benar-benar saling melewati meskipun kami berjalan melawan arah tanpa interaksi.


“Kamu pulang semalam?”

“Pulang lah, nginep dimana lagi?”

“Jam berapa?”

“Hmm... sebelas lewat, kenapa?”

Tidak ada jawaban.



Percakapan kami seperti mode simulasi.


“Mau nanya enggak? Udah kelar tuh presentasinya,”

Aku melirik terganggu, Hanna tidak pernah puas menggoda sekali dua kali tentang aku dan Paskal. Sekali pun kami tak pernah membuat moment romantis sampai-sampai dia harus bertingkah demikian.

“Kangen bilang, Ra. Itu mas Paskalnya kalau dianggurin diambil orang loh.”


Aku menganggukkan kepala dengan acuh, terlihat tidak peduli tapi aku mengetahuinya. Paskal punya pacar kok, adik tingkat kami, beda jurusan dan kebetulan kami satu unit kegiatan mahasiswa. Aku melihatnya menjemput setiap selesai rapat atau kumpul-kumpul tanpa sekali pun menyapaku, yah... memang seharusnya seperti itu bukan?


“Lupa, dia kan pacar orang. Kamu nggak cemburu Ra kalau Paskal pacaran?”


“Kupikir kalian bakal pacaran loh, seingetku dia sering banget nyariin kamu waktu semester satu. Bahkan inget nggak kalau tiap hari jumat dia selalu bawain kamu snack solat jumat dari masjid kampus?!”



Aku melirik terganggu dan siap-siap berdiri karena giliran presentasi kelompokku. Lirikan tajam untuk membungkam mulut Hanna yang tak berhenti berceloteh penuh nostalgia sewaktu kami masih mahasiswa baru. Mengabaikan Paskal yang melewati kursi kami tanpa menyapa atau menengokkan kepalanya, seolah-olah kami tidak sedang menyebutkan namanya.


Yah... Hanna hanya sedang bernostalgia.



Sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu sebagai sebuah cerita lama.


Tentang perasaan.


Tentang benang merah kami yang tidak terpasang dengan benar.

 

C   O   L   L   E   G   E

Danau

  Lokasi dirahasiakan, Waktu : Tahun 2014 Catatan 1        : Agustus 2014 Hari ini ada pengumuman lagi dari speaker masjid yang terdenga...