Waktu itu tanggal
6 Januari.
Masih baru kemarin rasanya, ketika aku mendengarmu
menyanyikan lagu 11 Januari. Dan sejak saat itupun teman sebangkuku ikut
menyanyikannya dengan pergantian liriknya yang jadi berisi soal rasa ngantuk
dan sebalnya soal mata pelajaran waktu itu.
Aku tertawa -tenang
saja itu pelan-.
Aku tertawa karena mengingatmu.
Mengingatmu yang tak pernah mengingatku. Mengingatmu
yang jelas-jelas tidak suka padaku. Mengingatmu yang terasa sangat nyata benci
padaku. Entah apa sebabnya, aku merasakan hal itu. Merasakan, kebencianmu.
Padaku.
Kamu yang terlalu mudah terbaca dalam prasangka. Kamu
juga terlalu mudah untuk dikira. Dan kamu terlalu mudah diketahui saat tengah
jatuh cinta.
Begitu kuingat lagi di tanggal 6 Januari waktu itu,
aku tak bisa berhenti tersenyum sendirian. Berceloteh sendirian. Memaki bantal,
guling dan bahkan gorden jendelaku hanya karena tak mampu menyapamu. Menyapamu
semudah mengatakan hai atau hallo. Melambaikan tangan. Begitu inginnya aku jadi
alasanmu untuk bahagia, meski itu bukan karena kamu juga mau menyukaiku.
Di tanggal 6 Januari itu pula, entah kenapa aku jadi
suka melihat cermin. Rapikah penampilanku? Cantikkah wajahku? Atau
jangan-jangan jilbabku panjang sebelah? Asal kau tahu juga, aku kini juga punya
bedak. Bedak bayi merk My Baby dengan warna botol putih dan jingga, juga parfum
cologne aroma rapika.
Aku berubah seutuhnya.
Waktu itu...
Namun sayangnya, kamu tak pernah tahu. Aku jadi merasa
manusia paling ganjen yang pernah ada. Sebegitu rendahnyakah aku? Tapi
lagi-lagi hatiku bicara soal cinta. Cinta terpendam yang kuharap semulia kisah
Fatimah dan Ali. Tapi jawabannya adalah Fatimah selalu diam dalam rasanya,
bukannya berkubang dalam ketidakjelasan yang berujung pada kebaperan absolut.
Sepertiku!
Dia begitu, aku begitu. Dia begini, aku begini. Aku
tetap menjadi diriku sendiri namun rasanya aku adalah bidak yang dijalankan
dalam pengaruh lain. Yang mengendalikanku menjadi sosok yang menurutku
benar-benar hina.
Aku yang rela datang sepagi mungkin hingga hampir
jatuh di depan gerbang sekolah gara-gara melihatnya sepintas lalu. Aku rela
jatuh terjerembab di anak tangga gara-gara hampir bertabrakan di koridor
sekolah. Aku juga rela menekan kelemahan fisikku, lalu mengikuti berbagai event
yang memuat namamu di Laporan Pertanggungjawabannya nanti. Hanya agar sedikit
saja aku bisa terlihat dimatamu.
Tapi sayangnya tidak.
Aku jadi menyebutmu dengan kata ganti 'dia' hanya agar
aku mudah meluapkan rasaku. Menyebutmu pun kini entahlah...
Rasanya aku tak mampu.
Di tanggal 6 Januari dimana aku menyimpulkan rasa di
hatinya aku jadi malu sendiri. Kukira dia suka padaku. Kukira dia juga
menyukaiku. Kukira dia perhatian padaku. Dan kukira..kukira...lainnya! Tapi
sayangnya tidak.
Itu tidak pernah terjadi, satu kali pun.
Aku tahu dan paham bahwa sedikit kisah hidupku tak
seindah yang dilihat di luar. Ada gejolak besar yang terjadi di hidupku.
Bagaikan gelombang tsunami yang hampir membunuhku dalam keadaan sakit jiwa.
Tapi kamu adalah satu dari sekian obat depresiku. Meski aku tahu, kamu.
Membenciku.
Meski sederhana seperti yang sudah kukatakan
sebelumnya tadi soal bahagiamu. Aku memang cuma menginginkan itu. Setidaknya
sebelum aku kembali depresi dan gila. Setidaknya sebelum aku melihat kehancuran
fisikku yang lemah. Aku mau melihatmu bahagia...
Apalagi begitu di suatu sore aku dengan berani
mengatakan rasaku padamu pada mereka. Mereka teman-temanku yang paling
kupercayai. Meski aku kadang tak bicarakan soalmu pada yang lain, bukan berarti
aku tak percaya pada mereka. Aku hanya...tak mau kamu tahu. Bukan dariku. Meski
sampai saatnya nanti kita, antara aku dan kamu yang kusuka sudah tak lagi bisa
bertegur sapa. Aku akan selalu mendoakanmu. Apapun yang terbaik untukmu. Meski
aku juga tahu, kalau filosofimu soal cinta jauh lebih tinggi dariku.
Tapi, bukan berarti aku buta.
Aku juga tak mau
berbohong soal kata move on, karena nyatanya di tanggal 6 Januari itu aku jatuh
cinta padamu. Pada caramu bicara. Pada caramu menundukkan pandangan. Pada
caramu berteman. Tapi, aku juga tahu batasku dimana. Apalagi mengingat
kebodohanku soal terjepit pintu geser hingga terluka hanya karena menatap
punggungmu. Aku yang rela beradu kepala dengan tembok hanya gara-gara melihatmu
sedang tertawa di kejauhan. Aku gila. Benar-benar gila rasanya. Waktu itu..di
tanggal 6 Januari, ketika tak lama kemudian aku mendengar fakta bahwa ada orang
lain yang menyukaimu. Seseorang yang kuduga sejak lama. Tapi..aku ragu. Hatiku
marah. Sayangnya begitu logikaku bicara, aku bukan siapa-siapa untukmu. Aku
bukan dia yang bisa dengan berani bercanda bahkan berbalas chat denganmu, atau
dia yang pendiam tapi mampu mengukir senyum di wajahmu. Aku diam, tapi tak
buta. Aku hanya bodoh soal hipotesa.
Tapi tetap saja begitu aku dengar kamu pernah
menangkap punggungnya saat ia hampir terjatuh, dan ia bilang kalau kamu sudah
mengacaukan pola ruang jantungnya. Entah mengapa aku jadi ingat penjelasan soal
sembilu dari guru bahasaku. Toh kebetulan di belakang rumahku memang ada banyak
rumpun bambu di dekat kamar mandi. Katakanlah aku tertawa begitu melihatnya,
tapi itu sakit. Meski aku juga bukan siapa-siapa.
Aku cuma pemimpi yang berukuran seperti butiran debu
yang tak berarti apa-apa. Bahkan aku jyga selalu menerima penolakan sejak aku
di lahirkan. Aku tidak mengapa. Sungguh! Kamu tetaplah menjadi penawar depresi
tahunanku, penguat sistem imun tubuhku. Cuma lewat hadirmu saja..bukankah itu
mudah? Tapi kupikir sekarang tidak! Cuma aku yang jatuh cinta. Sedangkan kamu
tidak. Aku malu juga pada Tuhanku karena menyukaimu. Okelah biar aku tanya,
siapa aku yang berani menyukaimu? Padahal kamu selalu mengabaikan dan
mengacuhkanku,enatapku seolah tidak peduli. Tapi kamu juga mampu
bertransformasi menjadi sosok lain yang terlihat menyenangkan bersama banyak
orang, termasuk dia.
Aku tak mau jahat dengan mengatakannya modus mengirimkan chat perihal agama dan keislaman padamu dan meminjam beberapa aksara dari kawannya yang religius. Aku tak mau. Sedangkan aku tahu ia pun punya seorang kekasih, dan ia masih mengatakan kalau ia menyukaimu. Katakan aku jahat karena membencinya. Tapi sekarang tidak. Mungkin susah untuk melepas rasaku. Aku mungkin tak siap dengan konsekuensi depresi menahun dan kebobrokan fisikku yang tak pernah diketahui siapapun. Tapi aku tak sanggup melihatmu dengan dia yang mampu melukis senyummu, menghadirkan tawamu dan selalu kau sebut bahkan di depanku. Entah aku ini apa bagimu. Aku tak peduli.
Waktu 6 Januari itu pula, ketika kamu bernyanyi lagu
11 Januari aku siap menangguh kebencian dari banyak sisi dihidupku.
Meski tanpa kamu lagi, kekasih imajinasiku.
C L
A S S
I C
